Wednesday, August 26, 2015

KEADAAN SEIMBANG CALON SUAMI & CALON ISTRI DALAM PERNIKAHAN (Komparasi Naskah Klasik dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia) 

 Oleh: Komarudin, MA

 komarudinmasyhur@yahoo.com 

 Abstract: 
Being pairs is a divine provision which is repeatedly affirmed and described in the Qur’an and as-Sunnah. Suggestion of being pairs which is directed by the two sources of Islamic law is to recognize and remember the sign of His greatness. Indonesia as a country with majority Moslem population in the world feels responsible for implementing the Qur’anic life rules. Therefore, almost all laws and regulations are constantly oriented to the norms of religious teaching. One of the Indonesia legal product is The president Instruction of The Republic of Indonesia No. 1 of year 1991 which instructed the Minister of Religious Affair to disseminate Islamic Law compilation of such the Marriage Law. The purpose of this paper is to find out how maximum are the contents of Islamic Law Compilation if compared with the classical texts of Islamic laws. 

 PEMBAHASAN 
Secara bahasa kata nikâh diambil dari kata nakaha-yankihu/yankahu-nikâhan yang berarti berkumpul. Sedangkan menurut syariah berarti akad dengan menggunakan kata “nikâh” atau “tazwîj” yang mengandung kehalalan hubungan badan. Kedua kata tersebut tidak boleh diganti dengan kata lain kecuali tejemahan dari keduanya. Dalam Bahasa Indonesia, Kata “nikâh” menjadi “nikah” atau “pernikahan”. Walaupun keduanya befungsi sebagai kata benda namun berbeda arti. “Nikah” diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri [dng resmi], sedangkan “pernikahan” diartikan sebagai 1. Hal [pebuatan] nikah 2. Upacara nikah. Dalam bahasa Indonesia, “pernikahan” sama dengan “pekawinan” Dalam Bab II, Dasar- dasar Perkawinan, pasal 2, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia [selanjutnya disebut KHI], didefinisikan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghaliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dasar hukum nikah adalah Firman Allah SWT Surat Al-Nisâ/4: 3 

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتَمَى فاَنْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَ ثُلَثَ وَ رُبَعْ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ذَالِكَ اَدْنَى اَلاَّ تَعُوْلُوْا  لنّساء/٤: ٣

 “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya) maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” [An-Nisâ/4: 3] 

 Hadits Nabi Muhammad SAW. Yaitu:

 ... قال لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم يَا مَعْشَرَ الشَبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَر وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “… hai pemuda-pemuda, barang siapa di antara kamu yang mampu serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat merundukan pandangan mata dari orang yang tidak halal dilihat, dan akan memeliharanya dari godaan syawat. Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa adalah penawar (nafsu sahwat) baginya.

 ... عن انس انّ نَفَرًا مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ سَاَلُوْا اَزْوَاجَ النّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِى السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ اَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ اَكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ اَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللهَ وَ اَثْنَى عَلَيْهِ فَقاَلَ مَابَالُ اَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَ كَذَا لَكِنِّى اَصَلِّى وَ اَنَامُ وَ اَصُوْمُ وَ اُفْطِرُ وَ اَتَزَوًّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنِ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى  
… dari Anas, sesungguhnya beberapa orang dari sahabat nabi SAW bertanya kepada istri-istri nabi mengenai perbuatannya saat banyak orang tidak mengetahuinya, diantara mereka ada yang berkata ‘aku tidak kawin’ dan diantara mereka ada yang berkata ‘aku tidak makan daging’ dan diantara mereka ada yang berkata ‘aku tidak tidur di atas kasur’, lalu nabi memuji Allah SWT dan bersabda ‘mengapa orang-orang berbicara demikian sedangkan aku shalat, tidur, puasa, berbuka, dan kawin. Barang siapa yang benci terhadap sunahku maka ia bukan dari [golongan]ku” 

Al-Khitbah adalah salah satu anak tangga yang dilalui untuk sampai kepada pernikahan. Al-khithbah (meminang atau melamar) adalah meminta kepada seorang wanita untuk dikawini. Pria yang meminang wanita disebut khâtib ,atau al-khitb, bentuk jama akhthâb, atau al-khitthîb, atau al-khitthîbûn. Sedangkan wanita yang dilamar disebut al-makhthûbah atah al-khitthîbâ. Seorang khâtib tidak dibolehkan meminang makhthubah yang sedang dipinang oleh khâtib lain. Hal tersebut didasari oleh hadits Nabi:

 ... عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم قال … لَا يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ بَعْضٍ “… 

dari Nâfi’ dari ‘Ibn Umar dari Nabi SAW, bersabda ia: … janganlah sebagian di antara kamu meminang (wanita) yang sedang dipinang oleh sebagain lainnya”

 ... أنّ ابا هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ... وَلَا يَخْطُبِ المَرْءُ عَلَى خِطْبَةِ اَخِيْهِ ... 

 “… sesungguhnya Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW: … dan janganlah seseorang meminang (wanita) yang sedang dipinang oleh saudaranya…”

 Dalam KHI, Bab III Peminangan, adalah sebagai berikut: 
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.
 Pasal 12 
1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. 
2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang dipinang. 
3) Dilarang juga meminang seoarang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
4) Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wantia yang dipinang. 

 Pada proses khitbah calon suami bertemu dengan calon istri. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum melihat wanita yang akan dipinang. Sebagian mereka membolehkan melihat bagian anggota tubuh tetentu, sebagian yang lain membolehkan melihat seluruh anggota tubuh kecuali aurat, dan sebagian lain tidak membolehkan sama sekali melihatnya baik sebagian anggota terlebih lagi seluruh anggota tubuh. Pebedaan pendapat tersebut didasari penafsiran bentuk perintah bunyi hadits, fanzhur ilaihâ (maka lihatlah ia)

. ... عن ابى هريرة قال كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَاَتَهُ رَجُلٌ فَاَخْبَرَهُ اَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَظَرْتَ اِلَيْهَا قَاَلَ لاَ قَالَ فَاذْهَبْ فَانْظُرْ اِلَيٍهَا ... 

 “… dari Abu Hurairah, berkata ia: aku sedang bersama Nabi SAW lalu seorang laki-laki mendatanginya dan mengabarkannya bahwa ia telah mengawini seorang perempuan Anshar. Lalu Nabi berkata kepadanya, apakah kamu sudah melihatnya? Ia menjawab, belum. Lalu Nabi berkata, pergilah kepadanya dan lihatlah"

” وعن جابر قال:قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم: أِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْاَةَ, فَاِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا اِلَى مَا يَدْعُوْهُ اِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ. ]رواه أحمد و أبو داود و صحّحه الحاكم. 

[ "dan dari Jâbir berkata, Rasul SAW bersabda: Apabila seseorang diantara kamu akan meminang seorang wanita, jika memungkinkan melihatnya agar [lebih] terdorong untuk menikainya maka lakukanlah [Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawûd, al-Hâkim men-shahîh-kannya] 

Berikut ini perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum melihat wanita yang akan dipinang: 
1. Imam Malik dan mayoritas ulama hanya membolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangan. 
 2. Imam Abu Hanifah hanya membolehkakan melihat wajah, kedua telapak tangan, dan kedua kaki 
3. Ulama lain membolehkan melihat seluruh badan kecuali kedua aurat. 
4. Ulama lain tidak membolehkan melihat sama sekali. 

Dalam KHI pasal 13 ayat 2 adalah sebagai berikut: Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. Para ulama saling berbeda pendapat mengenai hukum nikah. Perbedaan tersebut bermuara dari perbedaan pemahaman kata perintah yang terdapat di dalam al-Quran dan al-Hadits berikut ini: 

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى اليَتَمَى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَ ثُلَثَ وَ رُبَعَ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ اَدْنَى اَلاَّ تَعُوْلُوْا]النّساء/٤: ٣[

 “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap [hak-hak] perempuan yatim [bilamana kamu menikahinya], maka nikahilah perempuan [lain] yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka [nikahilah] seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

 تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَاِنّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاء يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

 “Nikahilah wanita yang subur yang dicintai sesungguhnya aku menjadi yang banyak umatnya [dibanding] para nabi lainnya pada hari kiamat” 

Mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah “nikahilah” menghasilkan hukum sunnah. Pengikut Zahiriyah bependapat bahwa perintah “nikahilah” adalah wajib. Ulama pengikut Maliki berpendapat bahwa perintah tersebut bisa menjadi wajib bagi sebagian orang dan bisa menjadi sunnah bahkan mubah bagi sebagian lainnya. Mayoritas ulama sepakat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rukun nikah, namun tidak sepakat dalam menentukan jumlah rukun nikah. Hal ini dikarenakan sebagian dari mereka menjadikan calon suami dan wali menjadi satu komponen sedangkan sebagian lain tidak. 

Berikut ini adalah rukun nikah: NO RUKUN NIKAH NO RUKUN NIKAH
 1. Shighat 1. Shighat 2. Calon Suami 2. Calon istri 3. Calon Istri 3. Dua orang saksi 4. Wali Nikah 4. Orang yang berakad 5. Dua Orang Saksi

Dalam KHI pasal 14 adalah sebagai berikut: Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: 
a. Calon suami 
b. Calon isteri
 c. Wali nikah 
d. Dua orang saksi dan 
e. Ijab dan Kabul

 Shighat nikâh adalah menggunakan kata ‘nikâh’ dan ‘tazwîj’. Kedua kata tersebut tidak boleh digantikan dengan kata lain kecuali terjemahannya. Nikâh tidak sah jika dilaksanakan dengan sindiran, karena saksi tidak mengetahui maksud dari sindiran tersebut. Nikâh juga tidak sah jika menggunakan kata yang menggantung, misalnya perkataan: “jika anak saya perempuan maka akan saya nikahkan kepadamu” hal tersebut adalah tidak sah walaupun pada akhirnya nanti anak tersebut nyata perempuan. Wanita yang akan dinikahi harus benar-benar wanita yang terbebas dari hal-hal yang memungkinkan batalnya pernikahan itu sendiri. Oleh karena itu, wanita tersebut disyaratkan: 

1. Tidak bersatus sebagai suami orang lain 

وَالْمُحْصَنَتِ مِنَ النِّسَاءِ اِلاَّ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ كِتَبَ اللهِ عَلَيْكُمْ... ]النساء/٤: ٢٤[

 “Dan )diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu…” [An-Nisâ/4: 24] 

2. Tidak sedang menjalankan iddah dari talak suami yang lain 
3. Bisa ditentukan orangnya. Misalnya, apabila seorang memiliki 5 (lima) anak maka ia harus menetapkannya dengan jelas siapa 1 dari 5 tersebut yang akan dinikahi. 
4. Tidak memiliki hubungan mahram dengan calon suami 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَتُكُمْ وَ بَنَاتُكُمْ وَ أَخَوَاتُكُمْ وَ عَمَّتُكُمْ وَخَلَتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمّهَتُكُمُ الَّتِى أَرْضَعْنَكُمْ وَ أَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَعَةِ وَ أَمَّهَتُ نِسَائِكُمْ وَ رَبَئِبُكُمُ الّتِى فِى حُجُوْرِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ الّتِى دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَاِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَ حَلَئِلُ أبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلَبِكُمْ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بِيْنَ الأُخْتَيِنِ اِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ اِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا ]النساء/٤: ٢٣[ 

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuan sesusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” [An-Nisâ/4: 23] 

 5. Tidak memiliki hubungan pertalian susuan (radhâ’) ...وَأُمّهَتُكُمُ الَّتِى أَرْضَعْنَكُمْ وَ أَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَعَةِ... “… dan ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sesusuan…” 

 6. Tidak memiliki hubnungan besan … وَ أَمَّهَتُ نِسَائِكُمْ… “…dan ibu-ibu istrimu (mertua)…” 

7. Beragama Islam atau Kitabiyah khalishah

 وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوْ اِلَى الْجَنَّةِ وَ الْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهِ وَ يُبَيِّنُ اَيَتِهِ للِنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ]البقرة/٢: ٢٢١[ 

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahi orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. “[Al-Baqarah/2: 221] 

 8. Tidak sedang menjalankan ihram

. ... فَقَالَ اَبَانٌ سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَ لاَ يَخْطُبُ 

 “… maka berkata Âbân (bin ‘Utsmân)’aku mendengar Utsmân bin ‘Affân berkata, bersabda Rasul SAW ‘orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahi, dan tidak boleh meminang” 

 Dalam KHI, bab IV tentang larangan kawin adalah sebagai berikut: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan sedang wanita disebabkan: 
1. Karena pertalian nasab: a. dengan seoarang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya. b. dengan seoarang wanita keturunan ayah atau ibu. c. dengan seoarang wanita saudara yang melahirkannya. 
2. Karena pertalian kerabat semenda: a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya b. dengan seoarang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya. c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul. 
3. Karena Pertalian sesusuan: a. dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas. b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah. d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Keberadaan wali saat pernikahan adalah bagian dari rukun nikah. 

Nikah akan menjadi tidak sah jika tidak ada wali. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW:

 وعن أبي بردة بن أبي موسى, عن أبيه رضي الله تعالي عنهما قال: قال ريول الله صلى الله عليه و سلّم: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ. }رواه أحمد و الأربعة و صحّحه ابن المديني و الترمذي وابن حبّان{ 

 “dan dari Abu Burdah bin Abu Musa, dari ayahnya –semoga Allah SWT meridhoi keduanya- berkata, Rasul SAW bersabda: “Nikah tidak sah tanpa wali” {Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ahli hadits yang empat, Ibn al-Madînî, Tirmidzî, dan Ibn Hibbân} 

 وعن عائشة قالت: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: أَيُّمَا امْرَاَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيّهَا فَنِكَحُهَا بَاطِلٌ ...]أخرجه الأربعة الّا النّسائي و صحّحه أبو عوانة و ابن حبّان و الحاكم[

 “dan dari ‘Âisyah berkata: Rasul SAW besabda: Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya tidak sah …” [Diriwayatkan oleh imam yang empat kecuali Al-Nasâî. Abu ‘Awânah, ibn Hibbân dan al-Hâkim men-shahîh-kannya] 

Di dalam menentukan keluarga dekat yang akan dijadikan wali hendaknya sesuai urutan berikut ini: 
1. Bapak 
2. Kakek 
3. Kakak atau adik yang seibu dan sebapak 
4. Kakak atau adik yang sebapak saja
5. Keponakan laki-laki yang seibu dan sebapak 
6. Keponakan laki-laki yang sebapak 
7. Paman dari pihak bapak 
8. Sepupu laki-laki dari pihak bapak

Dalam KHI adalah: Pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. 

Pasal 20 
1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seoarang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. 
2) Wali nikah terdiri dari : a) Wali nasab b) Wali hakim   
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka Saksi harus memiliki lima kriteria, yaitu: 1. Adil [‘adâlah] 2. Baligh 3. Beragama Islam 4. Merdeka 5. Bebas dari tuduhan Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang saksi harus bersikap adil. Hal ini didasarkan dari Firman Allah SWT: 

 فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ فَرِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَ أَشْهِدُوْا ذَوَىْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَ أَقِيْمُوْا لشَّهَدَةَ لِلهِ ذَالِكُمْ يُوْعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْأَخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ]الطلاق/٦٥: ۲[ 

“Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah [kembali kepada] mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendalkah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya” [At-Thalâq/62: 2]

 يَاَيُّهَا الّذِيْنَ اَمَنُوْا شَهَدَةَ بَيْنِكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِيْنَ الْوَصِيّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أْوْ ءَاخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ اِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِى الْأَرِضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيْبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُوْنَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَوةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللهِ اِنِ ارْتَبْتُمْ لاَ نَشْتِرِى بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلاَ نَكْتُمُ شَهَدَةَ اللهِ اِنّا اِذًا لّمِنَ الْاَثِمِيْنَ ]المائدة/٥: ۱۰٦[

 “wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang [diantara] kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah [wasiat itu] disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan [agama] dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian, hendaklah kamu tahan kedua saksi itu setelah shalat, agar keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu, “Demi Allah kami tidak akan mengambil keuntungan dengan sumpah ini, dan kami tidak menyembunyikan kesaksian Allah; sesungguhnya jika demikian tentu kami termasuk orang-orang yang berdosa” [Al-Mâidah/5: 106

Namun mereka berbeda pendapat dalam menentukan sifat adil. Menurut mayoritas ulama sifat adil adalah sifat tambahan pada seorang muslim, yaitu melaksanakan kewajiban dan sunah serta meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan. Menurut Abu Hanifah sifat adil cukup dibuktikan dengan keislaman yang nyata. Nikah tidak sah tanpa dua orang saksi. Saksi hendaknya muslim, bisa mendengar, dan bisa melihat. 

Dalam KHI adalah sebagai berikut:
Saksi Nikah Pasal 24 
1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah 
2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi 

Pasal 25 Yang dapat ditunjuk menjadi saksi adalam akad nikah ialah seoarang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak runa rungu atau tuli Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Selain dari rukun nikah di atas ada satu hal yang menjadi pertimbangan khusus untuk calon suami dan calon istri, yaitu, kafâah. 

Secara bahasa kafâah adalah keadaan seimbang antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara istilah adalah keadaan seimbang antara calon istri dengan calon suami. Kafâah bukan merupakan salah satu hal yang menyebabkan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Namun ia merupakan hal yang dianggap penting dalam rangka menjaga keberibadahan dan ketaatan seseorang kepada Allah SWT. Oleh karena itu kafâah menjadi hak calon istri dan walinya. Contoh Kafâah adalah sebagai berikut: 

1. Wanita shâlihat tidak seimbang dengan pria fasiq.

 أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا ]السّجدة/٣٢: ١۸[

 “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama.” [As-Sajdah/32: 18] 

 2. Wanita keturunan quraishiyah, hasyimiyyah, muthallibiyah tidak seimbang dengan pria bukan keturunan tersebut 

3. Wanita yang seluruh keluarganya beragama Islam tidak seimbang dengan pria yang hanya dirinya saja beragama Islam. Kafâah didasari oleh hadits nabi: 

نَحْنُ وَ بَنُوْ الْمُطَّلِبِ شَيْئٌ وَاحِدٌ فَهُمَا مُتَكَا فِئَانِ 

 “kami dan bani muthallib adalah satu kesatuan yang saling seimbang” Hal terpenting dalam Kafâah adalah menjaga muru’ah

Kekayaan tidak dianggap penting dalam Kafâah karena harta benda bisa lenyap dan bukan menjadi kebanggaan bagi mereka yang segala perbuatannya ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. KHI tidak memasukan unsur Kafâah dalam perkawinan. 

KESIMPULAN 
1. Hampir seluruh isi KHI pada buku 1 tentang pernikahan diadopsi dari ajaran-ajaran Islam yang sudah dikaji oleh mujtahid terdahulu (salaf).
2. Tidak seluruh hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan yang diabadikan oleh para mujtahid salaf dimuat dalam KHI. Ini dibuktikan dengan tidak adanya unsur kafaâh dalam KHI. 3. Nikah adalah ajaran agama yang perintah dan tata cara pelaksanakannya tertuang dalam Al-Quran. Oleh karena itu seorang muslim hendaklah memegang teguh ikatan pernikahan tersebut karena jika tidak, maka ia termasuk orang-orang yang melanggar ajaran Al-Quran. Semoga Allah SWT tetap mengantakan kita ke jalan yang diridhoi-Nya. Amin. 

 DAFTAR PUSTAKA 

Al-Dimyâthî , Abû Bakr bin Muhammad Syathâ, I’ânah al-Thâlibîn, (Dâr al-Fikr) 

Al-Ghazâlî, Muhammad bin Muhammad Abî Hâmid, al-Wajîz, (Dâr a-Fikr, 1994 M/1414 H) 

Al-Jurjânî, Alî bin Muhammad, Kitâb al-Ta’rîfât, (Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirût, Lubnân 1988M/1408 H) 

Al-Khatîb, Muhammad al-Syarbînî, Al-Iqnâ’ fî Hilli Alfâdzi Abî Syujâ’, (Dâr al-Fikr) 

Al-Qolyûbî, Syihâb al-Dîn Ahmad bin Ahmad bin Salâmah, Hâsyiyatâni, (Dâr al-Fikr,) 

Al-Andalusî, Abû al-Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubî, 

Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, (Dâr al-Fikr), 

al-Jus al-Tsânî Al-Nîsâbûrî, Abî al-Hasan Muslim bin al-Hujjâj ibn Muslim al-Qusyairî, 

Al-Jâmi’ al-Shahîh, (Dâr al-Fikr: Beirût, Lubnân) 

Al-Shan’ânî, Muhammad bin Ismâ’îl al-Amir al-Yamanî, Subul al-Salâm, [Dâr al-Fikr1991 M/1411 H] 

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, [Balai Pustaka: 1995] 

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, [Humaniora Utama Press, Bandung 

Maluf, Lois Maluf Al-Munjid fi al-Lughah wa al-I’lâm, (Dâr al-Masyriq, Beirût) 

Munawir, Ahmad Warson, KAMUS ARAB INDONESIA, (Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren “Al-Munawir” Krapyak, Yogyakarta) 

Sumber Internet:

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1-2006-puad210133-1347-bab4_210-6.pdf