Friday, November 11, 2016



PERBANDINGAN TAFSÎR JALÂLUDDÎN AL-SUYÛTHÎ & 
IBN JARÎR AL-THABARÎ DALAM AL-MÂIDAH: 51
(STUDI TAFSIR MUQÂRAN)

I.              Pendahuluan
            Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada manusia yang akan menempuh kehidupan bahagia dunia dan akhirat. Orang-orang beriman pasti mengetahui bahwa ia adalah benar dari Tuhannya[1]. Tidak ada kalam yang paling agung dan mulia selain kalam-Nya.[2]  Keagungan kalam Allah terhadap makhluk-Nya seperti keagungan Allah SWT terhadap makhluknya.[3] Dengan demikian memahami kandungannya merupakan kewajiban dan kebutuhuhan. Implementasi kehidupan qurani yang akan mengarahkan kepada kebahagian tersebut hanya bisa dilaksanakan jika kandungannya dipahami. Dalam konteks inilah tafsir[4] sangat diperlukan.  Kesadaran akan pentingnya tafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sudah muncul sejak zaman Nabi hingga sekarang.
            Judul makalah ini, Perbandingan Tafsir Jalaluddin al-Suyuthi & Ibn Jarir al-Thabari dalam al-Maidah lima puluh satu, dibilang masih sangat umum  karena Jalaluddîn al-Suyuthî dan Ibn Jarîr al-Thabarî masing-masing mempunyai karya yang sangat banyak.  Selain itu surat al-Maidah ayat lima puluh satu juga dapat mengandung kajian tafsir dari berbagai sisinya.  Oleh karena itu pada pendahuluan ini penulis merasa perlu membatasi tema bahasan.  Yaitu: yang penulis maksud dengan Tafsir Jalaluddin  al-Suyuthi adalah salah satu karyanya yang bernama al-Dârru al-Mantsûr fî Tafsîr al-Matsûr, yang dimaksud dengan tafsir Ibn Jarir al-Thabari adalah salah satu karyanya yang bernama Jami’ al-bayan fi Ta’wil al-Quran, dan yang dimaskud dengan al-Maidah lima puluh satu adalah Q.S Al-Maidah ayat lima puluh satu yang ditekankan pada pengambilan kesimpulan hukum yang dilakukan Jalaluddin al-Suyuthi dan Ibn Jarir al-Thabari dalam menjadikan orang yahudi dan nashrani sebagai pemimpin. Dari pembatasan tema bahasan ini maka rumusan masalah pada tulisan ini adalah “bagaimana hukum menjadikan yahudi dan nashrani sebagai pemimpin menurut Jalaluddin al-Suyuthi dan Ibn Jarir al-Thabari?”
Adapun terjemahan ayat Al-Quran pada tulisan ini mengacu kepada Al-Quran dan Terjemahannya yang ditulis oleh Departemen Agama Republik Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit PT. Syaamil Cipta Media tahun 2005.

II.            Definisi Tafsir Muqâran
Kata muqâran diambil dari kata qarana yang berarti menjadikan salah satu dari yang dua menjadi terkumpul sehingga satu lainnya menjadi lebih jelas.[5] Al-Muqâran artinya perbandingan. Maka al-tafsir al-muqâran adalah tafsir yang menggunakan metode perbandingan (komparasi) dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Quran.  Perbandingan yang dimaksud adalah perbandingan antara berbagai pandangan ulama tafsir baik ulama salaf maupun ulama khalaf dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran.  Tidak hanya yang berdasarkan pada penafsiran yang bersifat manqûl tetapi juga yang bersifat ma’qûl, juga perbandingan antara satu ayat dengan ayat-ayat tertentu atau ayat-ayat dengan hadits-hadits Nabi.[6]
Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud dengan metode komparasi adalah ‘membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama.  Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadits-hadits Nabi SAW yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.[7]
Berdasarkan definisi di atas, diketahui bahwa obyek kajian tafis muqaran meliputi:
a)    Perbandingan antara ayat dengan ayat
Dalam metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat-dengan ayat, mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri, sepeti:
·         Perbedaan antara Q.S Al-An’am: 151 degan Q.S Al-Isra: 31, yaitu:
وَلَا تَقْتُلُوْا اَوْلَادَكُمْ مِنْ اِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاكُمْ (الانعام: ۱٥۱)
وَلَا تَقْتُلُوْ اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ (الاسراء: ٣۱)
·       Perbedaan antara Q.S Al-Araf: 12 dengan Q.S Shad: 75
قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ قَالَ اَنَا خَيْرٌ مِنْهُ (الأعراف: ۱٢)
مَا مَنَعَكَ اَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ (ص: ٧٥)

b)    Pebandingan antara ayat dengan hadits
Hadits yang dapat dijadikan pembanding dalam hal ini hanyalah hadits shahih.  Yang diperbandingkan bukanlah format redaksi, karena ayat-ayat Al-Quran adalah Kalamullah, sementara hadits adalah ucapan Rasul, kendati bersumber dari wahyu.  Contoh perbandingan ayat Al-Quran dengan hadits adalah:
Firman Allah SWT:
اُدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ( النحل: ٣٢)
“Masuklah ke dalam surga dengan apa yang telah kalian lakukan”

Hadits Nabi SAW:
لن يدخل أحدكم الجنة بعلمه
“Seseorang di antara kalian tidak akan pernah masuk ke dalam surga karena perbuatannya”
Ayat dan hadits di atas menampakan maksud yang bertentangan mengenai hubungan antara surga dengan amal perbuatan seseorang.  Ayat menyatakan bahwa manusia masuk surga berdasarkan apa yang telah mereka perbuat, sedangkan hadits menyatakan bahwa tidak ada seseorang yang masuk surga karena perbuatannya.
            Berkaitan dengan hal di atas, az-Zarkasyi memberikan dua solusi.  Pertama, menurut Abu Sufyan dan kelompoknya, aorang masuk surga bukan karena perbuatannya, melainkan karena ampunan dan rahmat Allah SWT.  Adapaun kualitas dan kuantitas perbuatan mereka menentukan tingkat dan derajat surganya.  Hal ini dikuatkan denan hadits riwayat al-Turmudzi:
انّ أهل الجنة اذا دخلوها نزلوا فيها بفضل عملهم
“Sesungguhnya penghuni surga masuk ke dalamnya sesuai keutamaan perbuatan mereka”
            Kedua, huruf jarba” baik yang terdapat pada ayat maupun di dalam di atas mempunyai madlul yang berbeda.  Huruf “ba” pada ayat ( بما كنتم تعملون) menunjukan imbalan atau al-muqabalah, sedangkan ba di dalam hadits (بعلمه ) menunjukkan as-sababiyyah (sebab).  Dengan penjelasan seperti di atas, kesan pertentangan dapat dihindarkan.[8]
c)    Perbandingan antara pendapat para ulama
Seperti diketahui bahwa dalam menafsirkan al-Quran para ulama seringkali memberikan penjelasan yang berbeda.  Pendapat inilah kemudian yang masuk di dalam subyek al-Tafsir al-Muqaran.  Metode ini biasanya merangkum penafsiran ayat yang sudah ada, lalau dilakukan penilaian untuk menemukan yang lebih tepat dijadikan pegangan di dalam memahami maksuda ayat.
Tafisr muqâran termasuk metode yang relatif baru, karena banyak karya-karya tafsir yang dihasilkan dengan metode ini. 
Berikut ini adalah contoh-contoh tafsir katagori muqaran:
·         Durrat al-Tanzîl wa Ghurrah al-Ta’wîl karya al-Iskafî
·         Jami Ahkâm al-Qurân karya al-Qurthubî
·         Rawa’i al-Bayân fî Tafsîr Âyât al-Ahkâm karya ‘Ali a-Shâbûnî.
Setelah mengenal tiga objek kajian tafsir muqaran di atas, maka jelaslah bahwa pada pembahasan ini penulis menggunakan objek kajian ke tiga, perbedaan pendapat para ulama yang dalam hal ini adalah ahli tafsir.

III.           Biografi Jalâl al-Dîn al-SuyuthÎ

Jalâl al-Dîn al-Suyuthî mempunyai nama lengkap Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn al-Kamâl AbÎ Bakr ibn Muhammad bin Sâbiq al-Dîn Ibn al-Fakhr Utsmân Ibn Nazhîr al-Dîn Ibn Saif al-DÎn Khudhry Ibn Najm al-Dîn Abî al-Shâlah Ayyûb bin Nâshir al-Dîn Muhammad bin al-Syaikh Hammâm al-Dîn al-Khudhrî al-Suyûthî.  Ia lahir di Kairo pada malam Ahad Rajab 849 H/Oktober 1445 M.[9] 
Ia hidup pada akhir pemerintahan Dinasti Mamluk pada akhir abad ke-15 M.  Ia berasal dari keluarga keturuanan Persia yang semula menetap di Bahgdad lalu pindah ke Asyuth.  Ayahnya pernah diangkat sebagai al-ustadziyyat (guru besar) dalam bidang fiqh pada al-Madrasah al-Syaikhuniyat di Kairo.  Ayahnya[10] meninggal saat ia berumur 6 (enam) tahun.  Kemudian ia diasuh oleh seorang sufi, Muhammad al-Majdzub yang merupakan kerabat dekat ayahnya.
Dalam karyanya, Husn al-Muhâdharah fÎ TarÎkh Mishr wa al-Qâhirah, sebagaimana dikutip oleh Akhyar Hanif dalam desertasinya, Al-Suyûthî menceritakan masa kecilnya sebagai berikut:
“Aku tumbuh sebagai seorang anak yatim.  Aku telah hafal Al-Quran sebelum umur 8 (delapan tahun), aku memahami benar al-‘Umdah, Minhâj al-Fiqh dan Nahw dari sejumlah syaikh.  Aku belajar al-Fafâidh dari pakar zamannya, Syikh Shihâb al-Dîn al-Syârimâshî.  Pada 866 H aku telah menulis Syarh al-Isti’âdzah wa al-Basmalah. Selanjutnya aku belajar kepada Syaikh al-Islam, Syarîf al-Dîn al-Munâwî.  Darinya aku pelajari beberapa bab kitâb al-Minhâj,  aku pelajari pula kitab al-Bahjah, dan Tafsîr al-Baidlâwî.  Aku belajar hadîts dan al-‘Arabiyah dari Imam al-‘Allamah Taqîy al-Dîn al-Syiblî al-Hanâîi selama empat tahun.”

IV.          Biografi Ibn Jarîr al-Thabarî
Ibn Jarîr al-Thabarî memiliki nama lengkap Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Thabarî[11].  Ia dilahirkan di Âmul[12], Thabaristân, Iran Utara. Ia dilahirkan pada 839 M. Ia dibesarkan dalam keluarga taat agama dan mencintai ilmu.  Saat usia 7 tahun ia sudah hafal Al-Quran dan menjadi imam dalam shalat jamaah saat usianya 8 tahun, lalu mulai menulis hadits data usianya 9 tahun.[13]
Al-Thabarî terkenal sebagai sosok ulama berkepribadian mulia. Ia berpostur tubuh tinggi kurus, berkulit sawo matang, bermata lebar, dan berjenggot lebat.  Fisiknya yang proporsional dihiasi dengan akhlak mulia, bersih performa, luhur pergaulan, khusyu dalam ibadah, amanah, .wara, takwa, dan zuhud.  Karena zuhudnya, ia pernah menolok pemberian sebidang sawah dari ayahnya.[14]
Dalam karyanya, Tarîkh al-Thabarî, dikisahkan pada suatu hari Abû Bakr bin Mujâhid mendengar al-Thabarî saat membaca surat al-Rahmân saat menuju masjid untuk shalat tarawih.  Ia berkata: “Sungguh saya tak menduga bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yang mampu melantunkan bacaan surat ini dengan amat merdu”.[15]
Al-Thabarî memulai perjalanannya dari Thabaristân menuju al-Ray dan sekitarnya.  Di sana ia menimba ilmu dari ulama-ulama besar.  Ia mempelajari Fiqh al-‘Irâq dari Alî Abî Muqâtil, kemudian menulis buku ‘al-mubtada yang berisi tentang kisah Ahmad bin Hammâd al-Daulabî, mempelajari Syarh al-Maghâzî, karangan Ibn Ishaq dari Salmah bin al-Fadhl,  Kemudian isa menimba ilmu dari Ibnu Humaid al-Râzi[16], Ahmad bin Hanbâl.  Selanjutnya ia melanjutkan perjalan menuju Bashrah dan menimba ilmu dari Muhammad bin Musa, al-Harsi, Imâd bin Mûsâ al-Qazzâ, Muhammad al-‘Alâ al-Shan’ânî, Basyâr bin Mu’âdz, Muhammad bin Basyâr, dan Muhammad bin al-Ma’âllî.
Al-Thabarî memiliki keahlian bidang ilmu fiqih, tafsir, hadits, dan qiraah.  Di antara karya-karyanya adalah:
·         Akhbâr al-Rasûl wa al-Mulûk atau Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk
·         Jâmi’ al-Bayân fi TafsiÎr al-Qurân disebut juga Jâmî al-Bayân fi Ta’wîl al-Qurân
·         Ikhtilâf al-Fuqahâ disebut juga Ikhtilâf ‘Ulamâ al-Amshar Ahkam Syara’i al-Islam
·         Tabshîr Uwlâ al-Nuhâ wa Ma’âlim al-Hudâ
·         Lathif al-Qaul fi Ahkam Syarai al-Islam
·         Al-Khafîf fî Ahkâm Syarâ’i al-Islâm
·         Basîth al-Qaul fi Ahkâm Syarâi al-Islâm
·         Adab al-Qadhlâ
·         dll.[17]

V.           Tafsir al-Maidah: 51 Jalaluddîn al-Suyuthî

قوله تعالى:

يّاَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا الْيَهُوْدَ وَ النَّصَرَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَ مَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَاِنَّهُ مِنْهُمْ اِنَّ اللهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّلِمِيْنَ (٥۱)
“Wahai orang-orang yang beiman! janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi.  Barang siapa di antara kamu mejadikan mereka tema setia, maka dia termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

وَأخرج ابن مردويه عن ابن عباس قال: ان عبد الله بن أبي بن سلول قال: انّ بيني و بين قريظة و النضير حلف، و انّي أخاف الدوائر فأرتد كافرا.  قال عبادة بن الصامت: أبرأ الى الله من حلف قريظة و النضير، و أتولى الله و رسوله و المؤمنين، فأنزل الله (يأيها الذين امنوا لا تتّخذوا اليهود و النصارى أولياء) الى قوله (فترى الذين في قلوبهم مرض يسارعون فيهم) يعني عبد الله بن أبي. و قوله (انّما وليكم الله و رسوله و الذين امنوا الذين يقيمون الصلاة و يؤتون الزكاة و هم راكعون)] المائدة: ٥٥[ يعني عبادة بن الصامت و أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم. صفحة [18]

“Ibn Murdawaih mengeluarkan hadits dari Ibn ‘Abbas, ia bekata: Sesungguhnya Abu ‘Abdullah bin Ubay bin Salul berkata, sesungguhnya antara saya, Quraizhah, dan Nadlir terdapat janji. Saya khawatir murtad dan menjadi kafir. ‘Ubadah bin al-Shamit berkata: Aku membersihkan diri kepada Allah SWT dari bersumpah dengan Quraizhah dan Nadlir.  Dan saya menjadikan Allah, rasul-Nya, dan orang mu’min sebagai walî. Maka Allah SWT menurunkan: “Wahai orang-orang yang beiman! janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu)”

وأخرج ابن جرير و ابن أبي حاتم عن السدي قال: لما كانت وقعة أحد اشتد على طائفة من الناس و تخوّفوا أن يدال عليهم الكفار، فقال رجل لصاحبه: اما انا فألحق بفلان اليهود وأتهوّد معه فاني أن يدال على اليهودز و قال الاخر: اما انا فألحق بفلان  النصارني ببعض أرض الشام، فأخذ منه أمانا و أنتصر معه، فأنزل الله تعالى فيهما ينهاهما (يأيها الذين امنوا لا تتّخذوا اليهود و النصارى أولياء)[19]
  
“Dari Ibn Jarir dari Ibn Hatim dari as-Sadi berkata: ketika perang Uhud berkecamuk, sekelompok orang khawatir jika mereka akan dikendalikan oleh orang-orang kafir.  Seseorang berkata kepada temannya: [jika itu terjadi] saya akan ikuti orang Yahudi agar saya selamat dan saya akan berpura-pura menjadi Yahudi. Seorang lainnya berkata: kalau saya akan mengikuti orang Nashrani yang ada di sebagian Syam dan saya mohon keselamatan darinya kemudian saya berpura-pura sebagai Nasharani”  Lalu Allah SWT dalam hal itu melarangnya dan diturunkan [ayat] “yâ ayyuha al-ladzîna âmanû lâ tattakhidzû …”


VI.          Tafsir al-Maidah: 51 Ibn Jarîr al-Thabarî
حدثنا أبو كريب قال، حدثنا ابن ادريس قال، سمعت أبي، عن عطية بن سعد قال: جاء عبادة بن الصامت، من بني الحارث بن الخزرز، الى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال: يا رسول الله، ان لى موالي من يهود كثير عددهم، و اني أبرأ الى الله و رسوله من ولاية يهود، و أتولّى الله و رسولَه. فقال عبد الله بن أبي: انّي رجل أخاف الدوائر، لا أبرأ من ولاية موالي! فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لعبد الله بن أبي: يا أبا الحباب، ما بخلت به من ولاية يهود على عبادة بن الصامت فهو اليك دونه؟ قال قد قبلت! فأنزل الله: (يا أيها الذين امنوا لا تتخذوا ليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض) الى قوله (فتر الذين في قلوبهم مرض)[20]

Abu Kuraib menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata, Ibn Idris menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata, saya mendengar ayahku, dari ‘Athiyyah bin Sa’d, ia berkata: Ubadah bin Shamit dari Bani al-Harits al-Khazraz datang kepada Rasul dan berkata: ya Rasulullah, saya punya banyak orang yahudi yang saya jadikan penolong, sedangkan saya hanya ingin menjadikan hanya Allah SWT dan Rasul-Nya saja sebagai penolong saya.  Saya ingin terbebas dari dari meminta pertolongan kepada mereka.  Lalu Abdullah bin Umar berkata: Saya adalah orang yang takut berada di lingaran-lingkaran [mereka].  Tetapi saya tidak meminta bebas dari orang-orang yang menolong saya.  Lalu Rasulullah berdabda: Wahai Abu al-Hubab! Sungguh kamu sudah menghalang-halangi Ubadah bin Shamit dari keingingan bebas dari orang yahudi. Maka Allah SWT menurunkan ( wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasharani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain)”

حدثنا هناد قال, حدثنا يونس بن تكير قال, حدثني عثمان بن عبد الرحمن, عن الزهري قال, لما انهزم أهل بدر, قال المسلمون لأوليائهم من يهود: أمنوا قبل أن يصيبكم الله بيوم مثل يوم بدر! فقال مالك بن صيف: غرّكم أن أصبتم رهطا من قريش لا علم لهم بالقتال! أما لو أَمَرْنَا العزيمة أن نستجمع عليكم, لم يكن لكم يد أن تقاتلون! فقال عبادة: يا رسول الله, ان أوليائي من اليهود كانت شديدة أنفسهم, كثيرا سلاحهم, شديدةً شوكتهم, و اني أبرأ الى الله و الى رسوله من ولايتهم, و لا مولى لي الا الله و رسوله, فقال عبد الله بن أبي: لكني لأبرأ من ولاء يهود, انى رجل لا بدّ لي منهم! فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: يا أبا حباب, أرأيت الذي نَفِسْتَ به من ولاء يهود على عبادة, فهو لك دونه؟ قال: اذا أقبل! فأنزل الله تعالى ذكره: (يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض)[21]

حدثني محمد بن الحسن قال, حدثنا أحمد بن المفضل قال, حدثنا أسباط, عن السدي: (يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض و من يتولهم منكم فانه منهم), قال: لما كاتن وقعة أحد, اشتدّ على طائفة من الناس, و تخوّفوا أن يدال عليهم الكفار, فقال رجل لصاحبه: أما أنا فألحق بدهلك اليهود, فأخذ منه أنانا و أتهود معه, فاني أخاف ان تدال علينا اليهود! وقال الأخر: أما أنا فألحق بفلان النصارني ببعض أرض الشام, فاخذ منه أمانا و أتنصّر معه! فأنزل الله تعال ذكره ينهاهما: (يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض و من يتولهم منكم فانه منهم أن الله لا يهدي القوم الظالمين)


قال أبو جعفر: و الصواب من القول في ذلك عندنا أن يقال: أن الله تعالى ذكره نهى المؤمنين جميعا أن يتخذوا اليهود و النصارى أنصارا و حلفاء على أهل الايمان بالله و رسوله و غيرهم, و أخبر أنه من اتخذهم نصيرا و حليفا و وليا من دون الملؤمنين, فانه منهم في التحزب على الله و رسوله  و المؤمنين, و أن الله و رسوله منه بريئان. [22]

“Abu Ja’far berkata: Hal yang demikian itu menurut kami yang benar adalah: Sesungguhnya Allah SWT melarang seluruh orang beriman menjadikan Yahudi dan Nashrani sepagai penolong dan dan sekutu terhadap orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya.  Dan ia (Abu Ja’far) memberitahukan bahwa siapapun yang yang menjadikan mereka sebagai penolong dan sekutu selain orang-orang yang beriman, maka ia adalah termasuk golongan mereka  dalam berpihak kepada Allah SWT, rasul-Nya, dan orang-orang beriman.  Allah SWT dan rasul-Nya bebas dari hal itu.”

قال أبو جعفر: و من يتولى اليهود و النصارى دون المؤمنين, فانه منهم. يقول: فان من تولاهم و نصرهم على المؤمنين, فهو من أهل دينهم و ملتهم, فانه لا يتولى متولّ أحدا الّا و هو به و بدينه و ما هو عليه راض. و اذا رضيه و رضى دينه  فقد عادى ما خالفه و سخطه, و صار حكمُه حكمَه, و لذلك حكم مَنْ حكم من أهل العلم النصارى ...[23]    
“Abu Ja’far berkata: Siapapun yang menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin, tidak menjadikan orang-orang mumin (sebagai pemimpin) maka ia termasuk bagian dari mereka. Maka siapapun yang menjadikan mereka pemimpin dan penolong terhadap orang mumin, maka ia adalah bagian dari agama mereka.  Karena sesungguhnya ia tidak menjadikan seseorang sebagai pemimpin kecuali ia bagian darinya dan dari agamanya dan ia rela akan hal tersebut. Maka apabila ia rela dengannya maka ia rela pula terhadap agamanya dan akan membenci segala yang betentangan dengannya.  Dengan demikian maka jadilah aturan-aturan hukumnya dari aturan-aturan hukum orang tersebut.  Lebih jauh lagi maka ia akan menetapkan hukum dari ahli hukum Nashrani

Namun demikian, al-Thabari juga memuat riwayat yang menerangkan bahwa ayat lima puluh satu tersebut adalah larangan meminta tolong menyembelih hewan kepada orang Yahudi dan Nasharani. 

حدثني المثنى قال, حدثنا عبد الله بن صالح قال, حدثني معاوية بن صالح, عن علي ابن أبي طلحة, عن ابن عباس في هذه الاية: ( يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض و من يتولهم منكم فانه منهم) أنها في الذبائح. [24]

“Al-Matsna menyampapikan hadits kepada saya, ia berkata, ‘Abdullah bin Shaleh menyampaikan hadits kepada kami, dia berkata, Mu’awiyyah bin Shalih menyampaikan hadits kepada saya, dari ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibn ‘Abbas perihal ayat (Wahai orang-orang yang beiman! janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi.  Barang siapa di antara kamu mejadikan mereka tema setia, maka dia termasuk golongan mereka) sesungguhnya hal tersebut adalah dalam hal penyembelihan”


حدثنا ابن وكيع قال, حدثنا حجاج قال, حدثنا حماد, عن عطاء بن السائب, عن عكرمة, عن ابن عباس قال: كلوا ممن ذبائح بنى تغلب, و تزوّجوا من نسائهم, فان الله يقول في كتابه: (يأيها الذين أمنهوا لا تتخذو ...)[25]

Namun saat menjelaskan penutup ayat lima puluh satu ini, al-Thabari kembali menegaskan bahwa menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin merupakan perbuatan melawan Allah SWT, rasul-Nya dan orang-orang mumin.

قال أبو جعفر: ... ان الله لا يوفّق من وضع الولاية في غير موضعها, فوالي اليهود و النصارى –مع عداوتهم الله و رسوله و المؤمنين- على المؤمنين, و كان لهم ظهيرا و نصيرا, لأنّ من تولاهم فهو لله و لرسوله و للمؤمنين حرب. [26]

“Abu Ja’far berkata: “… sesungguhnya Allah SWT tidak sepakat kepada siapapun yang menyerahkan kekuasaannya tidak sesuai tempatnya. Perwalian Yahudi dan Nashrani –yang mereka memusuhi Allah SWT, rasul-Nya, dan orang mumin- secara jelas menjadikan mereka sebagai penolong.  Oleh karena itu siapapun yang menjadikan mereka sebagai walî berarti perang kepada Allah, rasul-Nya, dan orang mu’min”.
IV. Kesimpulan

Memperhatikan Jalaluddin al-Suyuthi memuat hadits Abu Hatim al-Sadi yang melarang seseorang untuk berpura-pura menjadi Yahudi dan Nashrani untuk mengikuti kepemimpinan mereka, yang bisa jadi itu merupakan sebab diturunkan al-Maidah ayat lima puluh satu, maka disimpulkan bahwa Jalaluddin al-Suyuthi melarang menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin