PERBANDINGAN
TAFSÎR JALÂLUDDÎN AL-SUYÛTHÎ &
IBN JARÎR AL-THABARÎ DALAM AL-MÂIDAH: 51
(STUDI
TAFSIR MUQÂRAN)
I.
Pendahuluan
Al-Quran memperkenalkan dirinya
sebagai pemberi petunjuk kepada manusia yang akan menempuh kehidupan bahagia
dunia dan akhirat. Orang-orang beriman pasti mengetahui bahwa ia adalah benar dari Tuhannya[1].
Tidak ada kalam yang paling agung dan mulia selain kalam-Nya.[2] Keagungan kalam Allah terhadap makhluk-Nya
seperti keagungan Allah SWT terhadap makhluknya.[3] Dengan demikian memahami
kandungannya merupakan kewajiban dan kebutuhuhan. Implementasi kehidupan qurani
yang akan mengarahkan kepada kebahagian tersebut hanya bisa dilaksanakan jika
kandungannya dipahami. Dalam konteks inilah tafsir[4] sangat diperlukan. Kesadaran akan pentingnya tafsir untuk
memahami ayat-ayat Al-Quran sudah muncul sejak zaman Nabi hingga sekarang.
Judul makalah ini, Perbandingan
Tafsir Jalaluddin al-Suyuthi & Ibn Jarir al-Thabari dalam al-Maidah lima
puluh satu, dibilang masih sangat umum
karena Jalaluddîn al-Suyuthî dan Ibn Jarîr al-Thabarî masing-masing
mempunyai karya yang sangat banyak.
Selain itu surat al-Maidah ayat lima puluh satu juga dapat mengandung
kajian tafsir dari berbagai sisinya.
Oleh karena itu pada pendahuluan ini penulis merasa perlu membatasi tema
bahasan. Yaitu: yang penulis maksud
dengan Tafsir Jalaluddin al-Suyuthi
adalah salah satu karyanya yang bernama al-Dârru al-Mantsûr fî Tafsîr
al-Matsûr, yang dimaksud dengan tafsir
Ibn Jarir al-Thabari adalah salah satu karyanya yang bernama Jami’ al-bayan fi
Ta’wil al-Quran, dan yang dimaskud dengan al-Maidah lima puluh satu adalah Q.S
Al-Maidah ayat lima puluh satu yang ditekankan pada pengambilan kesimpulan
hukum yang dilakukan Jalaluddin al-Suyuthi dan Ibn Jarir al-Thabari dalam
menjadikan orang yahudi dan nashrani sebagai pemimpin. Dari pembatasan tema
bahasan ini maka rumusan masalah pada tulisan ini adalah “bagaimana hukum
menjadikan yahudi dan nashrani sebagai pemimpin menurut Jalaluddin al-Suyuthi
dan Ibn Jarir al-Thabari?”
Adapun terjemahan ayat Al-Quran pada tulisan ini mengacu
kepada Al-Quran dan Terjemahannya yang ditulis oleh Departemen Agama Republik
Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit PT. Syaamil Cipta Media tahun 2005.
II.
Definisi
Tafsir Muqâran
Kata muqâran diambil dari kata qarana yang
berarti menjadikan salah satu dari yang dua menjadi terkumpul sehingga satu
lainnya menjadi lebih jelas.[5] Al-Muqâran artinya
perbandingan. Maka al-tafsir al-muqâran adalah tafsir yang menggunakan
metode perbandingan (komparasi) dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Quran. Perbandingan yang dimaksud adalah
perbandingan antara berbagai pandangan ulama tafsir baik ulama salaf maupun
ulama khalaf dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Tidak hanya yang berdasarkan pada penafsiran
yang bersifat manqûl tetapi juga yang bersifat ma’qûl, juga
perbandingan antara satu ayat dengan ayat-ayat tertentu atau ayat-ayat dengan
hadits-hadits Nabi.[6]
Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud dengan metode
komparasi adalah ‘membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau
kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan
yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau
diduga sama. Termasuk dalam objek
bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadits-hadits
Nabi SAW yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat
ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.[7]
Berdasarkan
definisi di atas, diketahui bahwa obyek kajian tafis muqaran meliputi:
a) Perbandingan
antara ayat dengan ayat
Dalam
metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat-dengan ayat, mufasir
biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan
yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu
sendiri, sepeti:
·
Perbedaan antara Q.S
Al-An’am: 151 degan Q.S Al-Isra: 31, yaitu:
وَلَا تَقْتُلُوْا
اَوْلَادَكُمْ مِنْ اِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاكُمْ (الانعام: ۱٥۱)
وَلَا تَقْتُلُوْ
اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ (الاسراء: ٣۱)
· Perbedaan
antara Q.S Al-Araf: 12 dengan Q.S Shad: 75
قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا
تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ قَالَ اَنَا خَيْرٌ مِنْهُ (الأعراف: ۱٢)
مَا مَنَعَكَ اَنْ تَسْجُدَ
لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ (ص: ٧٥)
b)
Pebandingan antara
ayat dengan hadits
Hadits yang dapat dijadikan pembanding dalam hal ini
hanyalah hadits shahih. Yang
diperbandingkan bukanlah format redaksi, karena ayat-ayat Al-Quran adalah
Kalamullah, sementara hadits adalah ucapan Rasul, kendati bersumber dari
wahyu. Contoh perbandingan ayat Al-Quran
dengan hadits adalah:
Firman Allah SWT:
اُدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ( النحل: ٣٢)
“Masuklah ke dalam surga dengan apa yang telah kalian
lakukan”
Hadits Nabi SAW:
لن يدخل أحدكم الجنة بعلمه
“Seseorang di antara kalian tidak akan pernah masuk ke dalam
surga karena perbuatannya”
Ayat dan hadits di atas menampakan maksud yang
bertentangan mengenai hubungan antara surga dengan amal perbuatan
seseorang. Ayat menyatakan bahwa manusia
masuk surga berdasarkan apa yang telah mereka perbuat, sedangkan hadits
menyatakan bahwa tidak ada seseorang yang masuk surga karena perbuatannya.
Berkaitan dengan hal di atas,
az-Zarkasyi memberikan dua solusi.
Pertama, menurut Abu Sufyan dan kelompoknya, aorang masuk surga bukan
karena perbuatannya, melainkan karena ampunan dan rahmat Allah SWT. Adapaun kualitas dan kuantitas perbuatan
mereka menentukan tingkat dan derajat surganya.
Hal ini dikuatkan denan hadits riwayat al-Turmudzi:
انّ أهل الجنة اذا دخلوها
نزلوا فيها بفضل عملهم
“Sesungguhnya penghuni surga masuk ke dalamnya sesuai keutamaan
perbuatan mereka”
Kedua, huruf jar “ba”
baik yang terdapat pada ayat maupun di dalam di atas mempunyai madlul
yang berbeda. Huruf “ba” pada
ayat ( بما كنتم تعملون) menunjukan imbalan atau al-muqabalah, sedangkan ba di dalam
hadits (بعلمه ) menunjukkan as-sababiyyah (sebab). Dengan penjelasan seperti di atas, kesan
pertentangan dapat dihindarkan.[8]
c) Perbandingan
antara pendapat para ulama
Seperti diketahui bahwa dalam menafsirkan al-Quran para
ulama seringkali memberikan penjelasan yang berbeda. Pendapat inilah kemudian yang masuk di dalam
subyek al-Tafsir al-Muqaran. Metode ini
biasanya merangkum penafsiran ayat yang sudah ada, lalau dilakukan penilaian
untuk menemukan yang lebih tepat dijadikan pegangan di dalam memahami maksuda
ayat.
Tafisr muqâran termasuk metode yang relatif baru, karena
banyak karya-karya tafsir yang dihasilkan dengan metode ini.
Berikut ini adalah contoh-contoh tafsir katagori muqaran:
·
Durrat al-Tanzîl wa
Ghurrah al-Ta’wîl karya al-Iskafî
·
Jami Ahkâm al-Qurân
karya al-Qurthubî
·
Rawa’i al-Bayân fî
Tafsîr Âyât al-Ahkâm karya ‘Ali a-Shâbûnî.
Setelah
mengenal tiga objek kajian tafsir muqaran di atas, maka jelaslah bahwa pada
pembahasan ini penulis menggunakan objek kajian ke tiga, perbedaan pendapat
para ulama yang dalam hal ini adalah ahli tafsir.
III.
Biografi
Jalâl al-Dîn al-SuyuthÎ
Jalâl al-Dîn al-Suyuthî mempunyai nama lengkap Jalâl
al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn al-Kamâl AbÎ Bakr ibn Muhammad bin Sâbiq al-Dîn
Ibn al-Fakhr Utsmân Ibn Nazhîr al-Dîn Ibn Saif al-DÎn Khudhry Ibn Najm al-Dîn
Abî al-Shâlah Ayyûb bin Nâshir al-Dîn Muhammad bin al-Syaikh Hammâm
al-Dîn al-Khudhrî al-Suyûthî. Ia lahir
di Kairo pada malam Ahad Rajab 849 H/Oktober 1445 M.[9]
Ia hidup pada akhir pemerintahan Dinasti Mamluk pada
akhir abad ke-15 M. Ia berasal dari
keluarga keturuanan Persia yang semula menetap di Bahgdad lalu pindah ke
Asyuth. Ayahnya pernah diangkat sebagai
al-ustadziyyat (guru besar) dalam bidang fiqh pada al-Madrasah al-Syaikhuniyat
di Kairo. Ayahnya[10] meninggal saat ia berumur
6 (enam) tahun. Kemudian ia diasuh oleh
seorang sufi, Muhammad al-Majdzub yang merupakan kerabat dekat ayahnya.
Dalam karyanya, Husn al-Muhâdharah fÎ TarÎkh
Mishr wa al-Qâhirah, sebagaimana dikutip oleh Akhyar Hanif dalam desertasinya,
Al-Suyûthî menceritakan masa kecilnya sebagai berikut:
“Aku
tumbuh sebagai seorang anak yatim. Aku
telah hafal Al-Quran sebelum umur 8 (delapan tahun), aku memahami benar al-‘Umdah,
Minhâj al-Fiqh dan Nahw dari sejumlah syaikh. Aku belajar al-Fafâidh dari pakar zamannya,
Syikh Shihâb al-Dîn al-Syârimâshî. Pada
866 H aku telah menulis Syarh al-Isti’âdzah wa al-Basmalah.
Selanjutnya aku belajar kepada Syaikh al-Islam, Syarîf al-Dîn al-Munâwî. Darinya aku pelajari beberapa bab kitâb
al-Minhâj, aku pelajari pula kitab
al-Bahjah, dan Tafsîr al-Baidlâwî.
Aku belajar hadîts dan al-‘Arabiyah dari Imam al-‘Allamah
Taqîy al-Dîn al-Syiblî al-Hanâîi selama empat tahun.”
IV.
Biografi
Ibn Jarîr al-Thabarî
Ibn Jarîr al-Thabarî memiliki nama lengkap Abu Ja’far Muhammad
ibn Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Thabarî[11]. Ia dilahirkan di Âmul[12], Thabaristân, Iran Utara.
Ia dilahirkan pada 839 M. Ia dibesarkan dalam keluarga taat agama dan mencintai
ilmu. Saat usia 7 tahun ia sudah hafal
Al-Quran dan menjadi imam dalam shalat jamaah saat usianya 8 tahun, lalu mulai
menulis hadits data usianya 9 tahun.[13]
Al-Thabarî terkenal sebagai sosok ulama berkepribadian
mulia. Ia berpostur tubuh tinggi kurus, berkulit sawo matang, bermata lebar,
dan berjenggot lebat. Fisiknya yang
proporsional dihiasi dengan akhlak mulia, bersih performa, luhur pergaulan,
khusyu dalam ibadah, amanah, .wara, takwa, dan zuhud. Karena zuhudnya, ia pernah menolok pemberian
sebidang sawah dari ayahnya.[14]
Dalam karyanya, Tarîkh al-Thabarî, dikisahkan pada suatu
hari Abû Bakr bin Mujâhid mendengar al-Thabarî saat membaca surat al-Rahmân
saat menuju masjid untuk shalat tarawih.
Ia berkata: “Sungguh saya tak menduga bahwa Allah SWT telah menciptakan
manusia yang mampu melantunkan bacaan surat ini dengan amat merdu”.[15]
Al-Thabarî memulai perjalanannya dari Thabaristân menuju
al-Ray dan sekitarnya. Di sana ia
menimba ilmu dari ulama-ulama besar. Ia
mempelajari Fiqh al-‘Irâq dari Alî Abî Muqâtil, kemudian menulis buku ‘al-mubtada
yang berisi tentang kisah Ahmad bin Hammâd al-Daulabî,
mempelajari Syarh al-Maghâzî, karangan Ibn Ishaq dari Salmah bin
al-Fadhl, Kemudian isa menimba ilmu dari
Ibnu Humaid al-Râzi[16], Ahmad bin Hanbâl. Selanjutnya ia melanjutkan perjalan menuju
Bashrah dan menimba ilmu dari Muhammad bin Musa, al-Harsi, Imâd bin Mûsâ
al-Qazzâ, Muhammad al-‘Alâ al-Shan’ânî, Basyâr bin Mu’âdz, Muhammad
bin Basyâr, dan Muhammad bin al-Ma’âllî.
Al-Thabarî memiliki keahlian bidang ilmu fiqih, tafsir,
hadits, dan qiraah. Di antara
karya-karyanya adalah:
·
Akhbâr al-Rasûl wa
al-Mulûk atau Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk
·
Jâmi’ al-Bayân fi
TafsiÎr al-Qurân disebut juga Jâmî al-Bayân fi Ta’wîl al-Qurân
·
Ikhtilâf al-Fuqahâ disebut
juga Ikhtilâf ‘Ulamâ al-Amshar Ahkam Syara’i al-Islam
·
Tabshîr Uwlâ al-Nuhâ
wa Ma’âlim al-Hudâ
·
Lathif al-Qaul fi
Ahkam Syarai al-Islam
·
Al-Khafîf fî Ahkâm
Syarâ’i al-Islâm
·
Basîth al-Qaul fi Ahkâm
Syarâi al-Islâm
·
Adab al-Qadhlâ
·
dll.[17]
V.
Tafsir
al-Maidah: 51 Jalaluddîn al-Suyuthî
قوله تعالى:
يّاَيُّهَا الَّذِيْنَ
ءَامَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا الْيَهُوْدَ وَ النَّصَرَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
بَعْضٍ وَ مَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَاِنَّهُ مِنْهُمْ اِنَّ اللهَ لَا
يَهْدِى الْقَوْمَ الظّلِمِيْنَ (٥۱)
“Wahai orang-orang yang beiman! janganlah kamu
menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama
lain saling melindungi. Barang siapa di
antara kamu mejadikan mereka tema setia, maka dia termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak member
petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
وَأخرج ابن مردويه عن ابن
عباس قال: ان عبد الله بن أبي بن سلول قال: انّ بيني و بين قريظة و النضير حلف،
و انّي أخاف الدوائر
فأرتد كافرا. قال عبادة بن الصامت: أبرأ
الى الله من حلف قريظة و النضير، و أتولى الله و رسوله و المؤمنين، فأنزل الله (يأيها الذين امنوا لا تتّخذوا
اليهود و النصارى أولياء) الى قوله (فترى الذين في قلوبهم مرض يسارعون فيهم) يعني
عبد الله بن أبي. و قوله (انّما وليكم الله و رسوله و الذين امنوا الذين يقيمون
الصلاة و يؤتون الزكاة و هم راكعون)] المائدة: ٥٥[ يعني
عبادة بن الصامت و أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم. صفحة [18]
“Ibn Murdawaih mengeluarkan hadits dari Ibn
‘Abbas, ia bekata: Sesungguhnya Abu ‘Abdullah bin Ubay bin Salul berkata,
sesungguhnya antara saya, Quraizhah, dan Nadlir terdapat janji. Saya khawatir murtad
dan menjadi kafir. ‘Ubadah bin al-Shamit berkata: Aku membersihkan diri kepada
Allah SWT dari bersumpah dengan Quraizhah dan Nadlir. Dan saya menjadikan Allah, rasul-Nya, dan
orang mu’min sebagai walî. Maka Allah SWT menurunkan: “Wahai orang-orang yang
beiman! janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman
setia(mu)”
وأخرج ابن جرير و ابن أبي حاتم عن السدي قال: لما كانت وقعة أحد اشتد
على طائفة من الناس و تخوّفوا أن يدال عليهم الكفار، فقال رجل لصاحبه: اما انا فألحق بفلان اليهود
وأتهوّد معه فاني أن يدال على اليهودز و قال الاخر: اما انا فألحق بفلان النصارني ببعض أرض الشام، فأخذ منه أمانا و أنتصر معه، فأنزل الله تعالى فيهما ينهاهما (يأيها الذين
امنوا لا تتّخذوا اليهود و النصارى أولياء)[19]
“Dari Ibn Jarir dari Ibn Hatim dari as-Sadi berkata: ketika perang
Uhud berkecamuk, sekelompok orang khawatir jika mereka akan dikendalikan oleh
orang-orang kafir. Seseorang berkata
kepada temannya: [jika itu terjadi] saya akan ikuti orang Yahudi agar saya
selamat dan saya akan berpura-pura menjadi Yahudi. Seorang lainnya berkata:
kalau saya akan mengikuti orang Nashrani yang ada di sebagian Syam dan saya
mohon keselamatan darinya kemudian saya berpura-pura sebagai Nasharani” Lalu Allah SWT dalam hal itu melarangnya dan
diturunkan [ayat] “yâ ayyuha al-ladzîna âmanû lâ tattakhidzû …”
VI.
Tafsir al-Maidah: 51 Ibn
Jarîr al-Thabarî
حدثنا أبو كريب قال، حدثنا ابن ادريس قال، سمعت أبي، عن عطية بن سعد قال: جاء عبادة بن الصامت، من بني الحارث بن الخزرز، الى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال:
يا رسول الله، ان لى موالي من يهود كثير عددهم، و اني أبرأ الى الله و رسوله من ولاية
يهود، و أتولّى الله و رسولَه. فقال عبد الله بن أبي: انّي رجل أخاف
الدوائر، لا أبرأ من ولاية موالي! فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لعبد
الله بن أبي: يا أبا الحباب، ما بخلت به من ولاية يهود على عبادة بن
الصامت فهو اليك دونه؟ قال قد قبلت! فأنزل الله: (يا أيها الذين امنوا لا تتخذوا
ليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض) الى قوله (فتر الذين في قلوبهم مرض)[20]
“Abu Kuraib menyampaikan hadits kepada
kami, ia berkata, Ibn Idris menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata, saya
mendengar ayahku, dari ‘Athiyyah bin Sa’d, ia berkata: Ubadah bin Shamit dari
Bani al-Harits al-Khazraz datang kepada Rasul dan berkata: ya Rasulullah, saya
punya banyak orang yahudi yang saya jadikan penolong, sedangkan saya hanya
ingin menjadikan hanya Allah SWT dan Rasul-Nya saja sebagai penolong saya. Saya ingin terbebas dari dari meminta
pertolongan kepada mereka. Lalu Abdullah
bin Umar berkata: Saya adalah orang yang takut berada di lingaran-lingkaran
[mereka]. Tetapi saya tidak meminta
bebas dari orang-orang yang menolong saya.
Lalu Rasulullah berdabda: Wahai Abu al-Hubab! Sungguh kamu sudah
menghalang-halangi Ubadah bin Shamit dari keingingan bebas dari orang yahudi. Maka
Allah SWT menurunkan ( wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil
orang Yahudi dan Nasharani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian; sebagian
mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain)”
حدثنا هناد قال, حدثنا يونس بن تكير قال, حدثني عثمان بن عبد الرحمن,
عن الزهري قال, لما انهزم أهل بدر, قال المسلمون لأوليائهم من يهود: أمنوا قبل أن
يصيبكم الله بيوم مثل يوم بدر! فقال مالك بن صيف: غرّكم أن أصبتم رهطا من قريش لا
علم لهم بالقتال! أما لو أَمَرْنَا العزيمة أن نستجمع عليكم, لم يكن لكم يد أن
تقاتلون! فقال عبادة: يا رسول الله, ان أوليائي من اليهود كانت شديدة أنفسهم,
كثيرا سلاحهم, شديدةً شوكتهم, و اني أبرأ الى الله و الى رسوله من ولايتهم, و لا
مولى لي الا الله و رسوله, فقال عبد الله بن أبي: لكني لأبرأ من ولاء يهود, انى رجل
لا بدّ لي منهم! فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: يا أبا حباب, أرأيت الذي
نَفِسْتَ به من ولاء يهود على عبادة, فهو لك دونه؟ قال: اذا أقبل! فأنزل الله
تعالى ذكره: (يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء
بعض)[21]
حدثني محمد بن الحسن قال, حدثنا أحمد بن المفضل قال, حدثنا أسباط, عن
السدي: (يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض و
من يتولهم منكم فانه منهم), قال: لما كاتن وقعة أحد, اشتدّ على طائفة من الناس, و
تخوّفوا أن يدال عليهم الكفار, فقال رجل لصاحبه: أما أنا فألحق بدهلك اليهود, فأخذ
منه أنانا و أتهود معه, فاني أخاف ان تدال علينا اليهود! وقال الأخر: أما أنا
فألحق بفلان النصارني ببعض أرض الشام, فاخذ منه أمانا و أتنصّر معه! فأنزل الله
تعال ذكره ينهاهما: (يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم
أولياء بعض و من يتولهم منكم فانه منهم أن الله لا يهدي القوم الظالمين)
قال أبو جعفر: و الصواب من القول في ذلك عندنا أن يقال: أن الله تعالى
ذكره نهى المؤمنين جميعا أن يتخذوا اليهود و النصارى أنصارا و حلفاء على أهل
الايمان بالله و رسوله و غيرهم, و أخبر أنه من اتخذهم نصيرا و حليفا و وليا من دون
الملؤمنين, فانه منهم في التحزب على الله و رسوله و المؤمنين, و أن الله و رسوله منه بريئان. [22]
“Abu Ja’far berkata: Hal yang demikian itu
menurut kami yang benar adalah: Sesungguhnya Allah SWT melarang seluruh orang
beriman menjadikan Yahudi dan Nashrani sepagai penolong dan dan sekutu terhadap
orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Dan ia (Abu Ja’far) memberitahukan bahwa
siapapun yang yang menjadikan mereka sebagai penolong dan sekutu selain
orang-orang yang beriman, maka ia adalah termasuk golongan mereka dalam berpihak kepada Allah SWT, rasul-Nya,
dan orang-orang beriman. Allah SWT dan
rasul-Nya bebas dari hal itu.”
قال أبو جعفر: و من يتولى اليهود و النصارى دون المؤمنين, فانه منهم.
يقول: فان من تولاهم و نصرهم على المؤمنين, فهو من أهل دينهم و ملتهم, فانه لا
يتولى متولّ أحدا الّا و هو به و بدينه و ما هو عليه راض. و اذا رضيه و رضى دينه فقد عادى ما خالفه و سخطه, و صار حكمُه
حكمَه, و لذلك حكم مَنْ حكم من أهل العلم النصارى ...[23]
“Abu Ja’far berkata: Siapapun yang menjadikan
Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin, tidak menjadikan orang-orang mumin
(sebagai pemimpin) maka ia termasuk bagian dari mereka. Maka siapapun yang
menjadikan mereka pemimpin dan penolong terhadap orang mumin, maka ia adalah
bagian dari agama mereka. Karena
sesungguhnya ia tidak menjadikan seseorang sebagai pemimpin kecuali ia bagian
darinya dan dari agamanya dan ia rela akan hal tersebut. Maka apabila ia rela
dengannya maka ia rela pula terhadap agamanya dan akan membenci segala yang
betentangan dengannya. Dengan demikian
maka jadilah aturan-aturan hukumnya dari aturan-aturan hukum orang
tersebut. Lebih jauh lagi maka ia akan
menetapkan hukum dari ahli hukum Nashrani
Namun demikian,
al-Thabari juga memuat riwayat yang menerangkan bahwa ayat lima puluh satu
tersebut adalah larangan meminta tolong menyembelih hewan kepada orang Yahudi
dan Nasharani.
حدثني المثنى قال, حدثنا عبد الله بن صالح قال, حدثني معاوية بن صالح,
عن علي ابن أبي طلحة, عن ابن عباس في هذه الاية: ( يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا
اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض و من يتولهم منكم فانه منهم) أنها في
الذبائح. [24]
“Al-Matsna menyampapikan hadits kepada saya, ia
berkata, ‘Abdullah bin Shaleh menyampaikan hadits kepada kami, dia berkata,
Mu’awiyyah bin Shalih menyampaikan hadits kepada saya, dari ‘Ali bin Abi
Thalhah, dari Ibn ‘Abbas perihal ayat (Wahai orang-orang yang beiman! janganlah
kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu); mereka satu
sama lain saling melindungi. Barang
siapa di antara kamu mejadikan mereka tema setia, maka dia termasuk golongan
mereka) sesungguhnya hal tersebut adalah dalam hal penyembelihan”
حدثنا ابن وكيع قال, حدثنا حجاج قال, حدثنا حماد, عن عطاء بن السائب,
عن عكرمة, عن ابن عباس قال: كلوا ممن ذبائح بنى تغلب, و تزوّجوا من نسائهم, فان
الله يقول في كتابه: (يأيها الذين أمنهوا لا تتخذو ...)[25]
Namun saat
menjelaskan penutup ayat lima puluh satu ini, al-Thabari kembali menegaskan
bahwa menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin merupakan perbuatan
melawan Allah SWT, rasul-Nya dan orang-orang mumin.
قال أبو جعفر: ... ان الله لا يوفّق من وضع الولاية في غير موضعها,
فوالي اليهود و النصارى –مع عداوتهم الله و رسوله و المؤمنين- على المؤمنين, و كان
لهم ظهيرا و نصيرا, لأنّ من تولاهم فهو لله و لرسوله و للمؤمنين حرب. [26]
“Abu Ja’far berkata: “… sesungguhnya
Allah SWT tidak sepakat kepada siapapun yang menyerahkan kekuasaannya tidak
sesuai tempatnya. Perwalian Yahudi dan Nashrani –yang mereka memusuhi Allah
SWT, rasul-Nya, dan orang mumin- secara jelas menjadikan mereka sebagai
penolong. Oleh karena itu siapapun yang
menjadikan mereka sebagai walî berarti perang kepada Allah, rasul-Nya, dan
orang mu’min”.
IV. Kesimpulan
No comments:
Post a Comment
Silahkan kritik atau saran