Friday, November 11, 2016



PERBANDINGAN TAFSÎR JALÂLUDDÎN AL-SUYÛTHÎ & 
IBN JARÎR AL-THABARÎ DALAM AL-MÂIDAH: 51
(STUDI TAFSIR MUQÂRAN)

I.              Pendahuluan
            Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada manusia yang akan menempuh kehidupan bahagia dunia dan akhirat. Orang-orang beriman pasti mengetahui bahwa ia adalah benar dari Tuhannya[1]. Tidak ada kalam yang paling agung dan mulia selain kalam-Nya.[2]  Keagungan kalam Allah terhadap makhluk-Nya seperti keagungan Allah SWT terhadap makhluknya.[3] Dengan demikian memahami kandungannya merupakan kewajiban dan kebutuhuhan. Implementasi kehidupan qurani yang akan mengarahkan kepada kebahagian tersebut hanya bisa dilaksanakan jika kandungannya dipahami. Dalam konteks inilah tafsir[4] sangat diperlukan.  Kesadaran akan pentingnya tafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sudah muncul sejak zaman Nabi hingga sekarang.
            Judul makalah ini, Perbandingan Tafsir Jalaluddin al-Suyuthi & Ibn Jarir al-Thabari dalam al-Maidah lima puluh satu, dibilang masih sangat umum  karena Jalaluddîn al-Suyuthî dan Ibn Jarîr al-Thabarî masing-masing mempunyai karya yang sangat banyak.  Selain itu surat al-Maidah ayat lima puluh satu juga dapat mengandung kajian tafsir dari berbagai sisinya.  Oleh karena itu pada pendahuluan ini penulis merasa perlu membatasi tema bahasan.  Yaitu: yang penulis maksud dengan Tafsir Jalaluddin  al-Suyuthi adalah salah satu karyanya yang bernama al-Dârru al-Mantsûr fî Tafsîr al-Matsûr, yang dimaksud dengan tafsir Ibn Jarir al-Thabari adalah salah satu karyanya yang bernama Jami’ al-bayan fi Ta’wil al-Quran, dan yang dimaskud dengan al-Maidah lima puluh satu adalah Q.S Al-Maidah ayat lima puluh satu yang ditekankan pada pengambilan kesimpulan hukum yang dilakukan Jalaluddin al-Suyuthi dan Ibn Jarir al-Thabari dalam menjadikan orang yahudi dan nashrani sebagai pemimpin. Dari pembatasan tema bahasan ini maka rumusan masalah pada tulisan ini adalah “bagaimana hukum menjadikan yahudi dan nashrani sebagai pemimpin menurut Jalaluddin al-Suyuthi dan Ibn Jarir al-Thabari?”
Adapun terjemahan ayat Al-Quran pada tulisan ini mengacu kepada Al-Quran dan Terjemahannya yang ditulis oleh Departemen Agama Republik Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit PT. Syaamil Cipta Media tahun 2005.

II.            Definisi Tafsir Muqâran
Kata muqâran diambil dari kata qarana yang berarti menjadikan salah satu dari yang dua menjadi terkumpul sehingga satu lainnya menjadi lebih jelas.[5] Al-Muqâran artinya perbandingan. Maka al-tafsir al-muqâran adalah tafsir yang menggunakan metode perbandingan (komparasi) dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Quran.  Perbandingan yang dimaksud adalah perbandingan antara berbagai pandangan ulama tafsir baik ulama salaf maupun ulama khalaf dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran.  Tidak hanya yang berdasarkan pada penafsiran yang bersifat manqûl tetapi juga yang bersifat ma’qûl, juga perbandingan antara satu ayat dengan ayat-ayat tertentu atau ayat-ayat dengan hadits-hadits Nabi.[6]
Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud dengan metode komparasi adalah ‘membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama.  Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadits-hadits Nabi SAW yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.[7]
Berdasarkan definisi di atas, diketahui bahwa obyek kajian tafis muqaran meliputi:
a)    Perbandingan antara ayat dengan ayat
Dalam metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat-dengan ayat, mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri, sepeti:
·         Perbedaan antara Q.S Al-An’am: 151 degan Q.S Al-Isra: 31, yaitu:
وَلَا تَقْتُلُوْا اَوْلَادَكُمْ مِنْ اِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاكُمْ (الانعام: ۱٥۱)
وَلَا تَقْتُلُوْ اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ (الاسراء: ٣۱)
·       Perbedaan antara Q.S Al-Araf: 12 dengan Q.S Shad: 75
قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ قَالَ اَنَا خَيْرٌ مِنْهُ (الأعراف: ۱٢)
مَا مَنَعَكَ اَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ (ص: ٧٥)

b)    Pebandingan antara ayat dengan hadits
Hadits yang dapat dijadikan pembanding dalam hal ini hanyalah hadits shahih.  Yang diperbandingkan bukanlah format redaksi, karena ayat-ayat Al-Quran adalah Kalamullah, sementara hadits adalah ucapan Rasul, kendati bersumber dari wahyu.  Contoh perbandingan ayat Al-Quran dengan hadits adalah:
Firman Allah SWT:
اُدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ( النحل: ٣٢)
“Masuklah ke dalam surga dengan apa yang telah kalian lakukan”

Hadits Nabi SAW:
لن يدخل أحدكم الجنة بعلمه
“Seseorang di antara kalian tidak akan pernah masuk ke dalam surga karena perbuatannya”
Ayat dan hadits di atas menampakan maksud yang bertentangan mengenai hubungan antara surga dengan amal perbuatan seseorang.  Ayat menyatakan bahwa manusia masuk surga berdasarkan apa yang telah mereka perbuat, sedangkan hadits menyatakan bahwa tidak ada seseorang yang masuk surga karena perbuatannya.
            Berkaitan dengan hal di atas, az-Zarkasyi memberikan dua solusi.  Pertama, menurut Abu Sufyan dan kelompoknya, aorang masuk surga bukan karena perbuatannya, melainkan karena ampunan dan rahmat Allah SWT.  Adapaun kualitas dan kuantitas perbuatan mereka menentukan tingkat dan derajat surganya.  Hal ini dikuatkan denan hadits riwayat al-Turmudzi:
انّ أهل الجنة اذا دخلوها نزلوا فيها بفضل عملهم
“Sesungguhnya penghuni surga masuk ke dalamnya sesuai keutamaan perbuatan mereka”
            Kedua, huruf jarba” baik yang terdapat pada ayat maupun di dalam di atas mempunyai madlul yang berbeda.  Huruf “ba” pada ayat ( بما كنتم تعملون) menunjukan imbalan atau al-muqabalah, sedangkan ba di dalam hadits (بعلمه ) menunjukkan as-sababiyyah (sebab).  Dengan penjelasan seperti di atas, kesan pertentangan dapat dihindarkan.[8]
c)    Perbandingan antara pendapat para ulama
Seperti diketahui bahwa dalam menafsirkan al-Quran para ulama seringkali memberikan penjelasan yang berbeda.  Pendapat inilah kemudian yang masuk di dalam subyek al-Tafsir al-Muqaran.  Metode ini biasanya merangkum penafsiran ayat yang sudah ada, lalau dilakukan penilaian untuk menemukan yang lebih tepat dijadikan pegangan di dalam memahami maksuda ayat.
Tafisr muqâran termasuk metode yang relatif baru, karena banyak karya-karya tafsir yang dihasilkan dengan metode ini. 
Berikut ini adalah contoh-contoh tafsir katagori muqaran:
·         Durrat al-Tanzîl wa Ghurrah al-Ta’wîl karya al-Iskafî
·         Jami Ahkâm al-Qurân karya al-Qurthubî
·         Rawa’i al-Bayân fî Tafsîr Âyât al-Ahkâm karya ‘Ali a-Shâbûnî.
Setelah mengenal tiga objek kajian tafsir muqaran di atas, maka jelaslah bahwa pada pembahasan ini penulis menggunakan objek kajian ke tiga, perbedaan pendapat para ulama yang dalam hal ini adalah ahli tafsir.

III.           Biografi Jalâl al-Dîn al-SuyuthÎ

Jalâl al-Dîn al-Suyuthî mempunyai nama lengkap Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn al-Kamâl AbÎ Bakr ibn Muhammad bin Sâbiq al-Dîn Ibn al-Fakhr Utsmân Ibn Nazhîr al-Dîn Ibn Saif al-DÎn Khudhry Ibn Najm al-Dîn Abî al-Shâlah Ayyûb bin Nâshir al-Dîn Muhammad bin al-Syaikh Hammâm al-Dîn al-Khudhrî al-Suyûthî.  Ia lahir di Kairo pada malam Ahad Rajab 849 H/Oktober 1445 M.[9] 
Ia hidup pada akhir pemerintahan Dinasti Mamluk pada akhir abad ke-15 M.  Ia berasal dari keluarga keturuanan Persia yang semula menetap di Bahgdad lalu pindah ke Asyuth.  Ayahnya pernah diangkat sebagai al-ustadziyyat (guru besar) dalam bidang fiqh pada al-Madrasah al-Syaikhuniyat di Kairo.  Ayahnya[10] meninggal saat ia berumur 6 (enam) tahun.  Kemudian ia diasuh oleh seorang sufi, Muhammad al-Majdzub yang merupakan kerabat dekat ayahnya.
Dalam karyanya, Husn al-Muhâdharah fÎ TarÎkh Mishr wa al-Qâhirah, sebagaimana dikutip oleh Akhyar Hanif dalam desertasinya, Al-Suyûthî menceritakan masa kecilnya sebagai berikut:
“Aku tumbuh sebagai seorang anak yatim.  Aku telah hafal Al-Quran sebelum umur 8 (delapan tahun), aku memahami benar al-‘Umdah, Minhâj al-Fiqh dan Nahw dari sejumlah syaikh.  Aku belajar al-Fafâidh dari pakar zamannya, Syikh Shihâb al-Dîn al-Syârimâshî.  Pada 866 H aku telah menulis Syarh al-Isti’âdzah wa al-Basmalah. Selanjutnya aku belajar kepada Syaikh al-Islam, Syarîf al-Dîn al-Munâwî.  Darinya aku pelajari beberapa bab kitâb al-Minhâj,  aku pelajari pula kitab al-Bahjah, dan Tafsîr al-Baidlâwî.  Aku belajar hadîts dan al-‘Arabiyah dari Imam al-‘Allamah Taqîy al-Dîn al-Syiblî al-Hanâîi selama empat tahun.”

IV.          Biografi Ibn Jarîr al-Thabarî
Ibn Jarîr al-Thabarî memiliki nama lengkap Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Thabarî[11].  Ia dilahirkan di Âmul[12], Thabaristân, Iran Utara. Ia dilahirkan pada 839 M. Ia dibesarkan dalam keluarga taat agama dan mencintai ilmu.  Saat usia 7 tahun ia sudah hafal Al-Quran dan menjadi imam dalam shalat jamaah saat usianya 8 tahun, lalu mulai menulis hadits data usianya 9 tahun.[13]
Al-Thabarî terkenal sebagai sosok ulama berkepribadian mulia. Ia berpostur tubuh tinggi kurus, berkulit sawo matang, bermata lebar, dan berjenggot lebat.  Fisiknya yang proporsional dihiasi dengan akhlak mulia, bersih performa, luhur pergaulan, khusyu dalam ibadah, amanah, .wara, takwa, dan zuhud.  Karena zuhudnya, ia pernah menolok pemberian sebidang sawah dari ayahnya.[14]
Dalam karyanya, Tarîkh al-Thabarî, dikisahkan pada suatu hari Abû Bakr bin Mujâhid mendengar al-Thabarî saat membaca surat al-Rahmân saat menuju masjid untuk shalat tarawih.  Ia berkata: “Sungguh saya tak menduga bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yang mampu melantunkan bacaan surat ini dengan amat merdu”.[15]
Al-Thabarî memulai perjalanannya dari Thabaristân menuju al-Ray dan sekitarnya.  Di sana ia menimba ilmu dari ulama-ulama besar.  Ia mempelajari Fiqh al-‘Irâq dari Alî Abî Muqâtil, kemudian menulis buku ‘al-mubtada yang berisi tentang kisah Ahmad bin Hammâd al-Daulabî, mempelajari Syarh al-Maghâzî, karangan Ibn Ishaq dari Salmah bin al-Fadhl,  Kemudian isa menimba ilmu dari Ibnu Humaid al-Râzi[16], Ahmad bin Hanbâl.  Selanjutnya ia melanjutkan perjalan menuju Bashrah dan menimba ilmu dari Muhammad bin Musa, al-Harsi, Imâd bin Mûsâ al-Qazzâ, Muhammad al-‘Alâ al-Shan’ânî, Basyâr bin Mu’âdz, Muhammad bin Basyâr, dan Muhammad bin al-Ma’âllî.
Al-Thabarî memiliki keahlian bidang ilmu fiqih, tafsir, hadits, dan qiraah.  Di antara karya-karyanya adalah:
·         Akhbâr al-Rasûl wa al-Mulûk atau Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk
·         Jâmi’ al-Bayân fi TafsiÎr al-Qurân disebut juga Jâmî al-Bayân fi Ta’wîl al-Qurân
·         Ikhtilâf al-Fuqahâ disebut juga Ikhtilâf ‘Ulamâ al-Amshar Ahkam Syara’i al-Islam
·         Tabshîr Uwlâ al-Nuhâ wa Ma’âlim al-Hudâ
·         Lathif al-Qaul fi Ahkam Syarai al-Islam
·         Al-Khafîf fî Ahkâm Syarâ’i al-Islâm
·         Basîth al-Qaul fi Ahkâm Syarâi al-Islâm
·         Adab al-Qadhlâ
·         dll.[17]

V.           Tafsir al-Maidah: 51 Jalaluddîn al-Suyuthî

قوله تعالى:

يّاَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا الْيَهُوْدَ وَ النَّصَرَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَ مَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَاِنَّهُ مِنْهُمْ اِنَّ اللهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّلِمِيْنَ (٥۱)
“Wahai orang-orang yang beiman! janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi.  Barang siapa di antara kamu mejadikan mereka tema setia, maka dia termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

وَأخرج ابن مردويه عن ابن عباس قال: ان عبد الله بن أبي بن سلول قال: انّ بيني و بين قريظة و النضير حلف، و انّي أخاف الدوائر فأرتد كافرا.  قال عبادة بن الصامت: أبرأ الى الله من حلف قريظة و النضير، و أتولى الله و رسوله و المؤمنين، فأنزل الله (يأيها الذين امنوا لا تتّخذوا اليهود و النصارى أولياء) الى قوله (فترى الذين في قلوبهم مرض يسارعون فيهم) يعني عبد الله بن أبي. و قوله (انّما وليكم الله و رسوله و الذين امنوا الذين يقيمون الصلاة و يؤتون الزكاة و هم راكعون)] المائدة: ٥٥[ يعني عبادة بن الصامت و أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم. صفحة [18]

“Ibn Murdawaih mengeluarkan hadits dari Ibn ‘Abbas, ia bekata: Sesungguhnya Abu ‘Abdullah bin Ubay bin Salul berkata, sesungguhnya antara saya, Quraizhah, dan Nadlir terdapat janji. Saya khawatir murtad dan menjadi kafir. ‘Ubadah bin al-Shamit berkata: Aku membersihkan diri kepada Allah SWT dari bersumpah dengan Quraizhah dan Nadlir.  Dan saya menjadikan Allah, rasul-Nya, dan orang mu’min sebagai walî. Maka Allah SWT menurunkan: “Wahai orang-orang yang beiman! janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu)”

وأخرج ابن جرير و ابن أبي حاتم عن السدي قال: لما كانت وقعة أحد اشتد على طائفة من الناس و تخوّفوا أن يدال عليهم الكفار، فقال رجل لصاحبه: اما انا فألحق بفلان اليهود وأتهوّد معه فاني أن يدال على اليهودز و قال الاخر: اما انا فألحق بفلان  النصارني ببعض أرض الشام، فأخذ منه أمانا و أنتصر معه، فأنزل الله تعالى فيهما ينهاهما (يأيها الذين امنوا لا تتّخذوا اليهود و النصارى أولياء)[19]
  
“Dari Ibn Jarir dari Ibn Hatim dari as-Sadi berkata: ketika perang Uhud berkecamuk, sekelompok orang khawatir jika mereka akan dikendalikan oleh orang-orang kafir.  Seseorang berkata kepada temannya: [jika itu terjadi] saya akan ikuti orang Yahudi agar saya selamat dan saya akan berpura-pura menjadi Yahudi. Seorang lainnya berkata: kalau saya akan mengikuti orang Nashrani yang ada di sebagian Syam dan saya mohon keselamatan darinya kemudian saya berpura-pura sebagai Nasharani”  Lalu Allah SWT dalam hal itu melarangnya dan diturunkan [ayat] “yâ ayyuha al-ladzîna âmanû lâ tattakhidzû …”


VI.          Tafsir al-Maidah: 51 Ibn Jarîr al-Thabarî
حدثنا أبو كريب قال، حدثنا ابن ادريس قال، سمعت أبي، عن عطية بن سعد قال: جاء عبادة بن الصامت، من بني الحارث بن الخزرز، الى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال: يا رسول الله، ان لى موالي من يهود كثير عددهم، و اني أبرأ الى الله و رسوله من ولاية يهود، و أتولّى الله و رسولَه. فقال عبد الله بن أبي: انّي رجل أخاف الدوائر، لا أبرأ من ولاية موالي! فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لعبد الله بن أبي: يا أبا الحباب، ما بخلت به من ولاية يهود على عبادة بن الصامت فهو اليك دونه؟ قال قد قبلت! فأنزل الله: (يا أيها الذين امنوا لا تتخذوا ليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض) الى قوله (فتر الذين في قلوبهم مرض)[20]

Abu Kuraib menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata, Ibn Idris menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata, saya mendengar ayahku, dari ‘Athiyyah bin Sa’d, ia berkata: Ubadah bin Shamit dari Bani al-Harits al-Khazraz datang kepada Rasul dan berkata: ya Rasulullah, saya punya banyak orang yahudi yang saya jadikan penolong, sedangkan saya hanya ingin menjadikan hanya Allah SWT dan Rasul-Nya saja sebagai penolong saya.  Saya ingin terbebas dari dari meminta pertolongan kepada mereka.  Lalu Abdullah bin Umar berkata: Saya adalah orang yang takut berada di lingaran-lingkaran [mereka].  Tetapi saya tidak meminta bebas dari orang-orang yang menolong saya.  Lalu Rasulullah berdabda: Wahai Abu al-Hubab! Sungguh kamu sudah menghalang-halangi Ubadah bin Shamit dari keingingan bebas dari orang yahudi. Maka Allah SWT menurunkan ( wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasharani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain)”

حدثنا هناد قال, حدثنا يونس بن تكير قال, حدثني عثمان بن عبد الرحمن, عن الزهري قال, لما انهزم أهل بدر, قال المسلمون لأوليائهم من يهود: أمنوا قبل أن يصيبكم الله بيوم مثل يوم بدر! فقال مالك بن صيف: غرّكم أن أصبتم رهطا من قريش لا علم لهم بالقتال! أما لو أَمَرْنَا العزيمة أن نستجمع عليكم, لم يكن لكم يد أن تقاتلون! فقال عبادة: يا رسول الله, ان أوليائي من اليهود كانت شديدة أنفسهم, كثيرا سلاحهم, شديدةً شوكتهم, و اني أبرأ الى الله و الى رسوله من ولايتهم, و لا مولى لي الا الله و رسوله, فقال عبد الله بن أبي: لكني لأبرأ من ولاء يهود, انى رجل لا بدّ لي منهم! فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: يا أبا حباب, أرأيت الذي نَفِسْتَ به من ولاء يهود على عبادة, فهو لك دونه؟ قال: اذا أقبل! فأنزل الله تعالى ذكره: (يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض)[21]

حدثني محمد بن الحسن قال, حدثنا أحمد بن المفضل قال, حدثنا أسباط, عن السدي: (يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض و من يتولهم منكم فانه منهم), قال: لما كاتن وقعة أحد, اشتدّ على طائفة من الناس, و تخوّفوا أن يدال عليهم الكفار, فقال رجل لصاحبه: أما أنا فألحق بدهلك اليهود, فأخذ منه أنانا و أتهود معه, فاني أخاف ان تدال علينا اليهود! وقال الأخر: أما أنا فألحق بفلان النصارني ببعض أرض الشام, فاخذ منه أمانا و أتنصّر معه! فأنزل الله تعال ذكره ينهاهما: (يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض و من يتولهم منكم فانه منهم أن الله لا يهدي القوم الظالمين)


قال أبو جعفر: و الصواب من القول في ذلك عندنا أن يقال: أن الله تعالى ذكره نهى المؤمنين جميعا أن يتخذوا اليهود و النصارى أنصارا و حلفاء على أهل الايمان بالله و رسوله و غيرهم, و أخبر أنه من اتخذهم نصيرا و حليفا و وليا من دون الملؤمنين, فانه منهم في التحزب على الله و رسوله  و المؤمنين, و أن الله و رسوله منه بريئان. [22]

“Abu Ja’far berkata: Hal yang demikian itu menurut kami yang benar adalah: Sesungguhnya Allah SWT melarang seluruh orang beriman menjadikan Yahudi dan Nashrani sepagai penolong dan dan sekutu terhadap orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya.  Dan ia (Abu Ja’far) memberitahukan bahwa siapapun yang yang menjadikan mereka sebagai penolong dan sekutu selain orang-orang yang beriman, maka ia adalah termasuk golongan mereka  dalam berpihak kepada Allah SWT, rasul-Nya, dan orang-orang beriman.  Allah SWT dan rasul-Nya bebas dari hal itu.”

قال أبو جعفر: و من يتولى اليهود و النصارى دون المؤمنين, فانه منهم. يقول: فان من تولاهم و نصرهم على المؤمنين, فهو من أهل دينهم و ملتهم, فانه لا يتولى متولّ أحدا الّا و هو به و بدينه و ما هو عليه راض. و اذا رضيه و رضى دينه  فقد عادى ما خالفه و سخطه, و صار حكمُه حكمَه, و لذلك حكم مَنْ حكم من أهل العلم النصارى ...[23]    
“Abu Ja’far berkata: Siapapun yang menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin, tidak menjadikan orang-orang mumin (sebagai pemimpin) maka ia termasuk bagian dari mereka. Maka siapapun yang menjadikan mereka pemimpin dan penolong terhadap orang mumin, maka ia adalah bagian dari agama mereka.  Karena sesungguhnya ia tidak menjadikan seseorang sebagai pemimpin kecuali ia bagian darinya dan dari agamanya dan ia rela akan hal tersebut. Maka apabila ia rela dengannya maka ia rela pula terhadap agamanya dan akan membenci segala yang betentangan dengannya.  Dengan demikian maka jadilah aturan-aturan hukumnya dari aturan-aturan hukum orang tersebut.  Lebih jauh lagi maka ia akan menetapkan hukum dari ahli hukum Nashrani

Namun demikian, al-Thabari juga memuat riwayat yang menerangkan bahwa ayat lima puluh satu tersebut adalah larangan meminta tolong menyembelih hewan kepada orang Yahudi dan Nasharani. 

حدثني المثنى قال, حدثنا عبد الله بن صالح قال, حدثني معاوية بن صالح, عن علي ابن أبي طلحة, عن ابن عباس في هذه الاية: ( يأيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض و من يتولهم منكم فانه منهم) أنها في الذبائح. [24]

“Al-Matsna menyampapikan hadits kepada saya, ia berkata, ‘Abdullah bin Shaleh menyampaikan hadits kepada kami, dia berkata, Mu’awiyyah bin Shalih menyampaikan hadits kepada saya, dari ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibn ‘Abbas perihal ayat (Wahai orang-orang yang beiman! janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi.  Barang siapa di antara kamu mejadikan mereka tema setia, maka dia termasuk golongan mereka) sesungguhnya hal tersebut adalah dalam hal penyembelihan”


حدثنا ابن وكيع قال, حدثنا حجاج قال, حدثنا حماد, عن عطاء بن السائب, عن عكرمة, عن ابن عباس قال: كلوا ممن ذبائح بنى تغلب, و تزوّجوا من نسائهم, فان الله يقول في كتابه: (يأيها الذين أمنهوا لا تتخذو ...)[25]

Namun saat menjelaskan penutup ayat lima puluh satu ini, al-Thabari kembali menegaskan bahwa menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin merupakan perbuatan melawan Allah SWT, rasul-Nya dan orang-orang mumin.

قال أبو جعفر: ... ان الله لا يوفّق من وضع الولاية في غير موضعها, فوالي اليهود و النصارى –مع عداوتهم الله و رسوله و المؤمنين- على المؤمنين, و كان لهم ظهيرا و نصيرا, لأنّ من تولاهم فهو لله و لرسوله و للمؤمنين حرب. [26]

“Abu Ja’far berkata: “… sesungguhnya Allah SWT tidak sepakat kepada siapapun yang menyerahkan kekuasaannya tidak sesuai tempatnya. Perwalian Yahudi dan Nashrani –yang mereka memusuhi Allah SWT, rasul-Nya, dan orang mumin- secara jelas menjadikan mereka sebagai penolong.  Oleh karena itu siapapun yang menjadikan mereka sebagai walî berarti perang kepada Allah, rasul-Nya, dan orang mu’min”.
IV. Kesimpulan

Memperhatikan Jalaluddin al-Suyuthi memuat hadits Abu Hatim al-Sadi yang melarang seseorang untuk berpura-pura menjadi Yahudi dan Nashrani untuk mengikuti kepemimpinan mereka, yang bisa jadi itu merupakan sebab diturunkan al-Maidah ayat lima puluh satu, maka disimpulkan bahwa Jalaluddin al-Suyuthi melarang menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin




Friday, April 22, 2016


HATI-HATI DALAM MENGUKUR TANAH

حدتني عبيد بن أسماعيل حدتنا أبو أُسامةَ عن هِشامٍ عن ابيه عن سعيد بن زيد ابن عمْرِو بن نُفَيْلٍ أَنّه خَاصَمَتْهُ أَرْوَى فِى حَقٍّ زَعَمَتْ أنّه انْتَقَصَهُ لَهَا اِلَى مَرْوَانَ فقال سعيد: أنا أَنْتَقِصُ مِنْ حَقِّها شَيْئًا؟ أشهد لسمعتُ رسولَ الله صلعم يقول: مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا فَاِنَّهُ يُطَوَّقَهُ يَوْمَ القيامة مِنْ سَبْعِ أٌرَضِيْنَ


...barang siapa yang mencuri sejengkal tanah maka ia akan dikalungkan tujuh bumi pada hari kiamat.

Wednesday, August 26, 2015

KEADAAN SEIMBANG CALON SUAMI & CALON ISTRI DALAM PERNIKAHAN (Komparasi Naskah Klasik dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia) 

 Oleh: Komarudin, MA

 komarudinmasyhur@yahoo.com 

 Abstract: 
Being pairs is a divine provision which is repeatedly affirmed and described in the Qur’an and as-Sunnah. Suggestion of being pairs which is directed by the two sources of Islamic law is to recognize and remember the sign of His greatness. Indonesia as a country with majority Moslem population in the world feels responsible for implementing the Qur’anic life rules. Therefore, almost all laws and regulations are constantly oriented to the norms of religious teaching. One of the Indonesia legal product is The president Instruction of The Republic of Indonesia No. 1 of year 1991 which instructed the Minister of Religious Affair to disseminate Islamic Law compilation of such the Marriage Law. The purpose of this paper is to find out how maximum are the contents of Islamic Law Compilation if compared with the classical texts of Islamic laws. 

 PEMBAHASAN 
Secara bahasa kata nikâh diambil dari kata nakaha-yankihu/yankahu-nikâhan yang berarti berkumpul. Sedangkan menurut syariah berarti akad dengan menggunakan kata “nikâh” atau “tazwîj” yang mengandung kehalalan hubungan badan. Kedua kata tersebut tidak boleh diganti dengan kata lain kecuali tejemahan dari keduanya. Dalam Bahasa Indonesia, Kata “nikâh” menjadi “nikah” atau “pernikahan”. Walaupun keduanya befungsi sebagai kata benda namun berbeda arti. “Nikah” diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri [dng resmi], sedangkan “pernikahan” diartikan sebagai 1. Hal [pebuatan] nikah 2. Upacara nikah. Dalam bahasa Indonesia, “pernikahan” sama dengan “pekawinan” Dalam Bab II, Dasar- dasar Perkawinan, pasal 2, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia [selanjutnya disebut KHI], didefinisikan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghaliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dasar hukum nikah adalah Firman Allah SWT Surat Al-Nisâ/4: 3 

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتَمَى فاَنْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَ ثُلَثَ وَ رُبَعْ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ذَالِكَ اَدْنَى اَلاَّ تَعُوْلُوْا  لنّساء/٤: ٣

 “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya) maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” [An-Nisâ/4: 3] 

 Hadits Nabi Muhammad SAW. Yaitu:

 ... قال لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم يَا مَعْشَرَ الشَبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَر وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “… hai pemuda-pemuda, barang siapa di antara kamu yang mampu serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat merundukan pandangan mata dari orang yang tidak halal dilihat, dan akan memeliharanya dari godaan syawat. Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa adalah penawar (nafsu sahwat) baginya.

 ... عن انس انّ نَفَرًا مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ سَاَلُوْا اَزْوَاجَ النّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِى السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ اَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ اَكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ اَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللهَ وَ اَثْنَى عَلَيْهِ فَقاَلَ مَابَالُ اَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَ كَذَا لَكِنِّى اَصَلِّى وَ اَنَامُ وَ اَصُوْمُ وَ اُفْطِرُ وَ اَتَزَوًّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنِ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى  
… dari Anas, sesungguhnya beberapa orang dari sahabat nabi SAW bertanya kepada istri-istri nabi mengenai perbuatannya saat banyak orang tidak mengetahuinya, diantara mereka ada yang berkata ‘aku tidak kawin’ dan diantara mereka ada yang berkata ‘aku tidak makan daging’ dan diantara mereka ada yang berkata ‘aku tidak tidur di atas kasur’, lalu nabi memuji Allah SWT dan bersabda ‘mengapa orang-orang berbicara demikian sedangkan aku shalat, tidur, puasa, berbuka, dan kawin. Barang siapa yang benci terhadap sunahku maka ia bukan dari [golongan]ku” 

Al-Khitbah adalah salah satu anak tangga yang dilalui untuk sampai kepada pernikahan. Al-khithbah (meminang atau melamar) adalah meminta kepada seorang wanita untuk dikawini. Pria yang meminang wanita disebut khâtib ,atau al-khitb, bentuk jama akhthâb, atau al-khitthîb, atau al-khitthîbûn. Sedangkan wanita yang dilamar disebut al-makhthûbah atah al-khitthîbâ. Seorang khâtib tidak dibolehkan meminang makhthubah yang sedang dipinang oleh khâtib lain. Hal tersebut didasari oleh hadits Nabi:

 ... عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم قال … لَا يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ بَعْضٍ “… 

dari Nâfi’ dari ‘Ibn Umar dari Nabi SAW, bersabda ia: … janganlah sebagian di antara kamu meminang (wanita) yang sedang dipinang oleh sebagain lainnya”

 ... أنّ ابا هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ... وَلَا يَخْطُبِ المَرْءُ عَلَى خِطْبَةِ اَخِيْهِ ... 

 “… sesungguhnya Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW: … dan janganlah seseorang meminang (wanita) yang sedang dipinang oleh saudaranya…”

 Dalam KHI, Bab III Peminangan, adalah sebagai berikut: 
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.
 Pasal 12 
1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. 
2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang dipinang. 
3) Dilarang juga meminang seoarang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
4) Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wantia yang dipinang. 

 Pada proses khitbah calon suami bertemu dengan calon istri. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum melihat wanita yang akan dipinang. Sebagian mereka membolehkan melihat bagian anggota tubuh tetentu, sebagian yang lain membolehkan melihat seluruh anggota tubuh kecuali aurat, dan sebagian lain tidak membolehkan sama sekali melihatnya baik sebagian anggota terlebih lagi seluruh anggota tubuh. Pebedaan pendapat tersebut didasari penafsiran bentuk perintah bunyi hadits, fanzhur ilaihâ (maka lihatlah ia)

. ... عن ابى هريرة قال كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَاَتَهُ رَجُلٌ فَاَخْبَرَهُ اَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَظَرْتَ اِلَيْهَا قَاَلَ لاَ قَالَ فَاذْهَبْ فَانْظُرْ اِلَيٍهَا ... 

 “… dari Abu Hurairah, berkata ia: aku sedang bersama Nabi SAW lalu seorang laki-laki mendatanginya dan mengabarkannya bahwa ia telah mengawini seorang perempuan Anshar. Lalu Nabi berkata kepadanya, apakah kamu sudah melihatnya? Ia menjawab, belum. Lalu Nabi berkata, pergilah kepadanya dan lihatlah"

” وعن جابر قال:قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم: أِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْاَةَ, فَاِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا اِلَى مَا يَدْعُوْهُ اِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ. ]رواه أحمد و أبو داود و صحّحه الحاكم. 

[ "dan dari Jâbir berkata, Rasul SAW bersabda: Apabila seseorang diantara kamu akan meminang seorang wanita, jika memungkinkan melihatnya agar [lebih] terdorong untuk menikainya maka lakukanlah [Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawûd, al-Hâkim men-shahîh-kannya] 

Berikut ini perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum melihat wanita yang akan dipinang: 
1. Imam Malik dan mayoritas ulama hanya membolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangan. 
 2. Imam Abu Hanifah hanya membolehkakan melihat wajah, kedua telapak tangan, dan kedua kaki 
3. Ulama lain membolehkan melihat seluruh badan kecuali kedua aurat. 
4. Ulama lain tidak membolehkan melihat sama sekali. 

Dalam KHI pasal 13 ayat 2 adalah sebagai berikut: Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. Para ulama saling berbeda pendapat mengenai hukum nikah. Perbedaan tersebut bermuara dari perbedaan pemahaman kata perintah yang terdapat di dalam al-Quran dan al-Hadits berikut ini: 

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى اليَتَمَى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَ ثُلَثَ وَ رُبَعَ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ اَدْنَى اَلاَّ تَعُوْلُوْا]النّساء/٤: ٣[

 “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap [hak-hak] perempuan yatim [bilamana kamu menikahinya], maka nikahilah perempuan [lain] yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka [nikahilah] seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

 تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَاِنّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاء يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

 “Nikahilah wanita yang subur yang dicintai sesungguhnya aku menjadi yang banyak umatnya [dibanding] para nabi lainnya pada hari kiamat” 

Mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah “nikahilah” menghasilkan hukum sunnah. Pengikut Zahiriyah bependapat bahwa perintah “nikahilah” adalah wajib. Ulama pengikut Maliki berpendapat bahwa perintah tersebut bisa menjadi wajib bagi sebagian orang dan bisa menjadi sunnah bahkan mubah bagi sebagian lainnya. Mayoritas ulama sepakat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rukun nikah, namun tidak sepakat dalam menentukan jumlah rukun nikah. Hal ini dikarenakan sebagian dari mereka menjadikan calon suami dan wali menjadi satu komponen sedangkan sebagian lain tidak. 

Berikut ini adalah rukun nikah: NO RUKUN NIKAH NO RUKUN NIKAH
 1. Shighat 1. Shighat 2. Calon Suami 2. Calon istri 3. Calon Istri 3. Dua orang saksi 4. Wali Nikah 4. Orang yang berakad 5. Dua Orang Saksi

Dalam KHI pasal 14 adalah sebagai berikut: Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: 
a. Calon suami 
b. Calon isteri
 c. Wali nikah 
d. Dua orang saksi dan 
e. Ijab dan Kabul

 Shighat nikâh adalah menggunakan kata ‘nikâh’ dan ‘tazwîj’. Kedua kata tersebut tidak boleh digantikan dengan kata lain kecuali terjemahannya. Nikâh tidak sah jika dilaksanakan dengan sindiran, karena saksi tidak mengetahui maksud dari sindiran tersebut. Nikâh juga tidak sah jika menggunakan kata yang menggantung, misalnya perkataan: “jika anak saya perempuan maka akan saya nikahkan kepadamu” hal tersebut adalah tidak sah walaupun pada akhirnya nanti anak tersebut nyata perempuan. Wanita yang akan dinikahi harus benar-benar wanita yang terbebas dari hal-hal yang memungkinkan batalnya pernikahan itu sendiri. Oleh karena itu, wanita tersebut disyaratkan: 

1. Tidak bersatus sebagai suami orang lain 

وَالْمُحْصَنَتِ مِنَ النِّسَاءِ اِلاَّ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ كِتَبَ اللهِ عَلَيْكُمْ... ]النساء/٤: ٢٤[

 “Dan )diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu…” [An-Nisâ/4: 24] 

2. Tidak sedang menjalankan iddah dari talak suami yang lain 
3. Bisa ditentukan orangnya. Misalnya, apabila seorang memiliki 5 (lima) anak maka ia harus menetapkannya dengan jelas siapa 1 dari 5 tersebut yang akan dinikahi. 
4. Tidak memiliki hubungan mahram dengan calon suami 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَتُكُمْ وَ بَنَاتُكُمْ وَ أَخَوَاتُكُمْ وَ عَمَّتُكُمْ وَخَلَتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمّهَتُكُمُ الَّتِى أَرْضَعْنَكُمْ وَ أَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَعَةِ وَ أَمَّهَتُ نِسَائِكُمْ وَ رَبَئِبُكُمُ الّتِى فِى حُجُوْرِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ الّتِى دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَاِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَ حَلَئِلُ أبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلَبِكُمْ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بِيْنَ الأُخْتَيِنِ اِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ اِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا ]النساء/٤: ٢٣[ 

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuan sesusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” [An-Nisâ/4: 23] 

 5. Tidak memiliki hubungan pertalian susuan (radhâ’) ...وَأُمّهَتُكُمُ الَّتِى أَرْضَعْنَكُمْ وَ أَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَعَةِ... “… dan ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sesusuan…” 

 6. Tidak memiliki hubnungan besan … وَ أَمَّهَتُ نِسَائِكُمْ… “…dan ibu-ibu istrimu (mertua)…” 

7. Beragama Islam atau Kitabiyah khalishah

 وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوْ اِلَى الْجَنَّةِ وَ الْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهِ وَ يُبَيِّنُ اَيَتِهِ للِنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ]البقرة/٢: ٢٢١[ 

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahi orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. “[Al-Baqarah/2: 221] 

 8. Tidak sedang menjalankan ihram

. ... فَقَالَ اَبَانٌ سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَ لاَ يَخْطُبُ 

 “… maka berkata Âbân (bin ‘Utsmân)’aku mendengar Utsmân bin ‘Affân berkata, bersabda Rasul SAW ‘orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahi, dan tidak boleh meminang” 

 Dalam KHI, bab IV tentang larangan kawin adalah sebagai berikut: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan sedang wanita disebabkan: 
1. Karena pertalian nasab: a. dengan seoarang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya. b. dengan seoarang wanita keturunan ayah atau ibu. c. dengan seoarang wanita saudara yang melahirkannya. 
2. Karena pertalian kerabat semenda: a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya b. dengan seoarang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya. c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul. 
3. Karena Pertalian sesusuan: a. dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas. b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah. d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Keberadaan wali saat pernikahan adalah bagian dari rukun nikah. 

Nikah akan menjadi tidak sah jika tidak ada wali. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW:

 وعن أبي بردة بن أبي موسى, عن أبيه رضي الله تعالي عنهما قال: قال ريول الله صلى الله عليه و سلّم: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ. }رواه أحمد و الأربعة و صحّحه ابن المديني و الترمذي وابن حبّان{ 

 “dan dari Abu Burdah bin Abu Musa, dari ayahnya –semoga Allah SWT meridhoi keduanya- berkata, Rasul SAW bersabda: “Nikah tidak sah tanpa wali” {Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ahli hadits yang empat, Ibn al-Madînî, Tirmidzî, dan Ibn Hibbân} 

 وعن عائشة قالت: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: أَيُّمَا امْرَاَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيّهَا فَنِكَحُهَا بَاطِلٌ ...]أخرجه الأربعة الّا النّسائي و صحّحه أبو عوانة و ابن حبّان و الحاكم[

 “dan dari ‘Âisyah berkata: Rasul SAW besabda: Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya tidak sah …” [Diriwayatkan oleh imam yang empat kecuali Al-Nasâî. Abu ‘Awânah, ibn Hibbân dan al-Hâkim men-shahîh-kannya] 

Di dalam menentukan keluarga dekat yang akan dijadikan wali hendaknya sesuai urutan berikut ini: 
1. Bapak 
2. Kakek 
3. Kakak atau adik yang seibu dan sebapak 
4. Kakak atau adik yang sebapak saja
5. Keponakan laki-laki yang seibu dan sebapak 
6. Keponakan laki-laki yang sebapak 
7. Paman dari pihak bapak 
8. Sepupu laki-laki dari pihak bapak

Dalam KHI adalah: Pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. 

Pasal 20 
1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seoarang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. 
2) Wali nikah terdiri dari : a) Wali nasab b) Wali hakim   
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka Saksi harus memiliki lima kriteria, yaitu: 1. Adil [‘adâlah] 2. Baligh 3. Beragama Islam 4. Merdeka 5. Bebas dari tuduhan Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang saksi harus bersikap adil. Hal ini didasarkan dari Firman Allah SWT: 

 فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ فَرِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَ أَشْهِدُوْا ذَوَىْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَ أَقِيْمُوْا لشَّهَدَةَ لِلهِ ذَالِكُمْ يُوْعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْأَخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ]الطلاق/٦٥: ۲[ 

“Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah [kembali kepada] mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendalkah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya” [At-Thalâq/62: 2]

 يَاَيُّهَا الّذِيْنَ اَمَنُوْا شَهَدَةَ بَيْنِكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِيْنَ الْوَصِيّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أْوْ ءَاخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ اِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِى الْأَرِضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيْبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُوْنَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَوةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللهِ اِنِ ارْتَبْتُمْ لاَ نَشْتِرِى بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلاَ نَكْتُمُ شَهَدَةَ اللهِ اِنّا اِذًا لّمِنَ الْاَثِمِيْنَ ]المائدة/٥: ۱۰٦[

 “wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang [diantara] kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah [wasiat itu] disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan [agama] dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian, hendaklah kamu tahan kedua saksi itu setelah shalat, agar keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu, “Demi Allah kami tidak akan mengambil keuntungan dengan sumpah ini, dan kami tidak menyembunyikan kesaksian Allah; sesungguhnya jika demikian tentu kami termasuk orang-orang yang berdosa” [Al-Mâidah/5: 106

Namun mereka berbeda pendapat dalam menentukan sifat adil. Menurut mayoritas ulama sifat adil adalah sifat tambahan pada seorang muslim, yaitu melaksanakan kewajiban dan sunah serta meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan. Menurut Abu Hanifah sifat adil cukup dibuktikan dengan keislaman yang nyata. Nikah tidak sah tanpa dua orang saksi. Saksi hendaknya muslim, bisa mendengar, dan bisa melihat. 

Dalam KHI adalah sebagai berikut:
Saksi Nikah Pasal 24 
1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah 
2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi 

Pasal 25 Yang dapat ditunjuk menjadi saksi adalam akad nikah ialah seoarang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak runa rungu atau tuli Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Selain dari rukun nikah di atas ada satu hal yang menjadi pertimbangan khusus untuk calon suami dan calon istri, yaitu, kafâah. 

Secara bahasa kafâah adalah keadaan seimbang antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara istilah adalah keadaan seimbang antara calon istri dengan calon suami. Kafâah bukan merupakan salah satu hal yang menyebabkan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Namun ia merupakan hal yang dianggap penting dalam rangka menjaga keberibadahan dan ketaatan seseorang kepada Allah SWT. Oleh karena itu kafâah menjadi hak calon istri dan walinya. Contoh Kafâah adalah sebagai berikut: 

1. Wanita shâlihat tidak seimbang dengan pria fasiq.

 أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا ]السّجدة/٣٢: ١۸[

 “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama.” [As-Sajdah/32: 18] 

 2. Wanita keturunan quraishiyah, hasyimiyyah, muthallibiyah tidak seimbang dengan pria bukan keturunan tersebut 

3. Wanita yang seluruh keluarganya beragama Islam tidak seimbang dengan pria yang hanya dirinya saja beragama Islam. Kafâah didasari oleh hadits nabi: 

نَحْنُ وَ بَنُوْ الْمُطَّلِبِ شَيْئٌ وَاحِدٌ فَهُمَا مُتَكَا فِئَانِ 

 “kami dan bani muthallib adalah satu kesatuan yang saling seimbang” Hal terpenting dalam Kafâah adalah menjaga muru’ah

Kekayaan tidak dianggap penting dalam Kafâah karena harta benda bisa lenyap dan bukan menjadi kebanggaan bagi mereka yang segala perbuatannya ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. KHI tidak memasukan unsur Kafâah dalam perkawinan. 

KESIMPULAN 
1. Hampir seluruh isi KHI pada buku 1 tentang pernikahan diadopsi dari ajaran-ajaran Islam yang sudah dikaji oleh mujtahid terdahulu (salaf).
2. Tidak seluruh hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan yang diabadikan oleh para mujtahid salaf dimuat dalam KHI. Ini dibuktikan dengan tidak adanya unsur kafaâh dalam KHI. 3. Nikah adalah ajaran agama yang perintah dan tata cara pelaksanakannya tertuang dalam Al-Quran. Oleh karena itu seorang muslim hendaklah memegang teguh ikatan pernikahan tersebut karena jika tidak, maka ia termasuk orang-orang yang melanggar ajaran Al-Quran. Semoga Allah SWT tetap mengantakan kita ke jalan yang diridhoi-Nya. Amin. 

 DAFTAR PUSTAKA 

Al-Dimyâthî , Abû Bakr bin Muhammad Syathâ, I’ânah al-Thâlibîn, (Dâr al-Fikr) 

Al-Ghazâlî, Muhammad bin Muhammad Abî Hâmid, al-Wajîz, (Dâr a-Fikr, 1994 M/1414 H) 

Al-Jurjânî, Alî bin Muhammad, Kitâb al-Ta’rîfât, (Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirût, Lubnân 1988M/1408 H) 

Al-Khatîb, Muhammad al-Syarbînî, Al-Iqnâ’ fî Hilli Alfâdzi Abî Syujâ’, (Dâr al-Fikr) 

Al-Qolyûbî, Syihâb al-Dîn Ahmad bin Ahmad bin Salâmah, Hâsyiyatâni, (Dâr al-Fikr,) 

Al-Andalusî, Abû al-Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubî, 

Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, (Dâr al-Fikr), 

al-Jus al-Tsânî Al-Nîsâbûrî, Abî al-Hasan Muslim bin al-Hujjâj ibn Muslim al-Qusyairî, 

Al-Jâmi’ al-Shahîh, (Dâr al-Fikr: Beirût, Lubnân) 

Al-Shan’ânî, Muhammad bin Ismâ’îl al-Amir al-Yamanî, Subul al-Salâm, [Dâr al-Fikr1991 M/1411 H] 

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, [Balai Pustaka: 1995] 

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, [Humaniora Utama Press, Bandung 

Maluf, Lois Maluf Al-Munjid fi al-Lughah wa al-I’lâm, (Dâr al-Masyriq, Beirût) 

Munawir, Ahmad Warson, KAMUS ARAB INDONESIA, (Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren “Al-Munawir” Krapyak, Yogyakarta) 

Sumber Internet:

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1-2006-puad210133-1347-bab4_210-6.pdf